Cerita Singkat si Pondok Tua
Hari
yang kurang bersahabat, raja siang yang dengan bangganya mencurahkan sinarnya.
Panas yang memayungi dunia, debu, bising kendaraan, dan hiruk-pikuk manusia
menambah semaraknya tempat ini. Di sini, di pinggir jalan berdebu dan bising
oleh nyanyian kendaraan yang berlalu lalang, sebuah pondok kecil tak terpakai
namun tetap kokoh. Tempat yang mubazir jika hanya dibiarkan begitu saja, harus
dimanfaatkan. Entah untuk apa? Sekedar duduk, numpang tidur, nunggu angkot atau
sejenisnya? Entahlah, itu terserah mereka.
Namun lain halnya dengan Ican dan Andi, tempat itu
merupakan homebase bagi mereka. Dua
orang yang telah bersahabat sejak SMP dan kini mereka telah duduk di bangku SMA
kelas 3. Dua orang dengan karakter yang sangat berbeda, namun perbedaan itulah
yang mengakrabkan mereka. Kemanapun pergi selalu bersama-sama, bisa dibilang di
mana ada Ican, di sana ada Andi.
Kini, itu semua hanyalah cerita dulu. Mereka telah
menempuh jalannya masing-masing. Semua terjadi ketika masa SMP berakhir, di
mana Ican harus mengikuti keinginan orang tuanya untuk sekolah di tempat yang
lebih baik di tempat lain. Lain halnya dengan Andi yang tetap melanjutkan
sekolahnya di tempat ini. Meskipun begitu, persahabatan mereka tidaklah hilang
walaupun jarak menghalangi.
Hari ini seperti biasa, keadaan yang ramai akan lautan
manusia, bising kendaraan yang selalu menghibur penduduk sekitar. Pemandangan
yang tak pernah berubah, hanya semakin ramai, gedung semakin bertingkat,
bangunan bertambah. Kota kecil ini pun tak luput dari dampak globalisai dan
teknologi yang merambat begitu cepat dalam kehidupan masyarakat yang dulu lugu
ini. Kemajuan yang pesat, hanya saja itu tak sedikit pun merubah keadaan pondok
tua di pinggir jalan itu, ia tetap begitu, mungkin semakin rapuh karena hujan
dan panas, tapi tetap berdiri. Ada desas desus bahwa pondok itu akan di
robohkan, diganti dengan halte bus, mempercantik kota kecil ini. Ia pun tahu
akan hal itu, memang dari awal ia tahu akan dirobohkan, hanya saja ia ingin
sekali bisa melihat dua remaja itu di sini, di hadapannya, duduk dan tertawa riang,
baginya itulah hiburannya.Ia pun tahu bahwa pondok tua sepertinya memang akan
tersingkirkan.
Hari yang dinanti pun datang, mereka kembali, Ican dan Andi.
Angin apakah yang membawa mereka kemari? Pondok tua itu sepertinya tersenyum
meskipun tak ada yang tahu. Mereka duduk di sana, tempat favorit mereka dulu.
Terkihat Ican berpakaian rapi lengkap dengan tas dipunggungnya sedangkan Andi
tetap dengan gaya lamanya jins hitam panjang dan jaket kulit hitam. Rupanya
Ican akan berangkat ke tempat di mana ia sekolah, ia sengaja ke tempat ini.
Sekedar bercerita, melepas rindu dengan tempat ini, dengan debunya, dengan
nyanyian kendaraannya, tidak, mungkin semuanya, semua yang ada di sini.
Hei hei, coba
dengar, mereka mulai bercerita, sepertinya menarik, tentang apa? Entahlah, coba
dengarkan. “ Ternyata tempat ini telah banyak berubah ya, semakin ramai. Tidak
seperti dua tahun lalu.” Ican memulai pembicaraan. “ Tentu saja, bodoh. Tempat
ini akan lebih ramai lagi nanti, apalagi kalau kau kembalinya sudah bawa anak dan
istri.” Jawab Andi setengah bercanda.
“ enak saja kau bicara, aku ke
sana untuk belajar! Bukan cari istri atau anak, kalau kau mungkin iya.”
“ Huft, anak istri ya,
ketinggian mikirnya Can, ngomong-ngomong soal istri, sial sekali nasib ku Can.”
Ucap Andi dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“ Eh, kenapa? Apa yang salah?”
“Kau tau Helna kan?”
“Iya, pacarmu kan, ada apanya
dengannya?”
“Hmmmmmmmh hufffffttt” Andi
mengambil nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya.
“Dia mau nikah bentar lagi”.
Andi melanjutkan ceritanya.
“Dan sialnya dia bakal nikah
sama teman ku, si Agus. Katanya mereka sudah di jodohkan”.
Sesaat Ican terdiam, Ia
memperhatikan dalam-dalam sahabatnya itu. Sekilas terbersit luka dari wajahnya.
Ican mengerti apa yang dirasakan Andi, sebab ia pun pernah ditinggalkan oleh
orang yang disayangi, hanya berbeda keadaan saja.
“Sakit ya?” Tanya Ican sedikit
ragu. “ Tentu saja, bodoh! Minta dihajar ya? Balas Andi sewot.
“He he he, ternyata kau punya
rasa sakit juga rupanya” sahut Ican seraya menghibur.
“Kenapa ya, baru sekarang
rasanya sakit. Baru sekarang aku merasa kehilangan, benar-benar kehilangan. Apa
ini yang namanya hukum karma?” ujar Andi lagi tanpa menghiraukan perkatan Ican.
“Maksud mu apa, berlebihan ah”.
“Bukannya berlebihan, Kau juga
tau kan dulu aku pernah pacaran sama Nita. Aku mutusin dia tanpa ngasih alasan yang
jelas”.
“Hei, bukannya kau bilang
padaku kalau kau memutuskannya karena …”. Belum sempat Ican menyelesaikan
kata-katanya Andi memotong ” Iya memang, tapi aku kan tidak mungkin bilang hal
itu sama dia. Kau ini gila ya? Aneh-aneh saja”.
“Terus apa hubungannya dengan hukum
karma, bukankah itu demi kebaikannya juga?”.
“Iya, tapi dia tidak tau kan,
mungkin saja dia sakit hati denganku dan sekarang ini balasannya”.
“Hmmm, mungkin kau benar. Sepertinya
saat ini kita merasakan hal yang sama”. “Hmmm, yah”.
Mereka terdiam beberapa saat
sambil memandangi hilir mudik manusia di tempat itu. Pondok tua tempat mereka
singgah itu pun sepertinya turut merasakan apa yang dirasakan dua remaja
tanggung itu. Ingin rasanya ia menghibur keduanya, tapi itu tak mungkin. Cukup
memperhatikan dan mendengarkan seperti yang sudah-sudah.
“Hei, ada cewek cantik lewat tuh”. Ucap Ican iseng pada
Andi. Andi menggeleng tidak peduli.
“Kau kenapa? Apa sudah tidak
tertarik dengan cewek lagi, biasanya juga kalau ada cewek kau yang manggilkan?”.
“Sudahlah, aku tidak peduli itu semua”.
“Hmmmm, cantik lo, masa gak
mau?”. “Aku tidak peduli dia cantik atau tidak”.
“Trus, apa?”. “ Ini, di sini”.
Jawab Andi sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Maksud mu?”. “Cantik hatinya,
kalau mau cari yang cantik sih banyak, tapi yang cantik hatinya, heh, langka
bung”. Ujar Andi dengan gaya yang sangat meyakinkan.
Sekali lagi Ican terdiam, kata-kata
yang diucapkan sahabatnya itu membuatnya terhenyak kaget. Kata-kata yang datang
dari seseorang yang notabenenya berandalan ini. Kata-kata yang sangat
menyakitkan bagi Ican, kata-kata yang datangnya terlambat baginya. Kata-kata
yang dibutuhkannya saat masalah sedang menerpa hubungannya dulu, penyelesaian
yang salah dan berujung luka. Luka panjang yang hingga kini masih ia rasakan,
andai kata-kata itu datang saat masalah itu terjadi, mungkin keadaannya tidak
seperti sekarang ini. “Tret tet teeettt” sirine fuso besar yang sedang
menguasai jalanan kota menyadarkan Ican
dari renungannya.
“Oi, kau ini mau pergi atau tidak, hah? , lapar nih” ujar
Andi memegangi perutnya. “Berangkat donk, mana betah aku di sini sama kamu”.
“Cepat pergi sana, siapa juga
yang mau bareng sama kamu”.
“Sabar, belum ada bus. Nih,
beli makanan dulu sana, bisa repot ntar kalau kamu mati di sini” ucap Ican
sambil menyodorkan beberapa ribu uang. Setelah itu acara menunggu pun dihibur
dengan beberapa makanan kecil.
“Tuh ada bus” ujar Andi sambil
menunjuk arah datangnya bus dengan mulutnya. Bus itu berhenti tepat di depan
mereka, lalu Ican menaikinya. Tersungging senyum di bibir mereka berdua.
“Sampai jumpa lagi, kawan”.
Bus berjalan meniggalkan Andi yang tetap
memandangi dari kejauhan, perlahan bus mulai menghilang dan akhirnya tak
berbekas. Andi kembali duduk di pondok tua itu, ia menyalakan sebatang rokok,
kebiasaan yang jarang ia lakukan di depan Ican. “Cinta itu menyakitkan kawan,
tapi tanpa cinta kau tak akan pernah tau apa itu kebahagiaa dan luka, itu
bumbunya, tinggal bagaimana kau mengolahnya menjadi sesuatu yang baik”.
Yah, mungkin itulah kebersamaan terakhir pondok tua itu
dengan dua remaja tanggung itu, selalu menyisakan kesan. Hal yang selalu
membuatnya rindu anak-anak itu. Tapi setelah ini tak akan lagi, besok atau lusa
mungkin ia akan di gusur, regenerasi dari pemerintah untuk kemajuan kota kecil
ini tak melibatkan kehadiran pondok itu. Ia tidak diperlukan lagi, akan ada penggantinya
yang jauh lebih baik. Pondok itu tak pernah mempermasalahkan itu semua, apalagi
keinginannya untuk berjumpa dengan due remaja itu telah tercapai. Pertemuan
terakhir yang berkesan walau hanya sekejap. Selalu ada perpisahan dalam sebuah
pertemuan, itu hukum alam yang tak mungkin di tolak oleh siapapun.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar