Dulu, Sekarang, dan Nanti
Tawa bahagia siswa-siswi sekolah dasar
membahana riuh menyemarakkan waktu pulang di SD Negeri 1. Para siswa
berhamburan berlari seperti ikan-ikan yang baru keluar dari kantong ke dalam
kolam, tumpah ruah. Di gerbang sekolah, seorang pria paruh baya dengan usia
sekitar 30 tahunan sibuk mengamati sambil mencari-cari seseorang diantara
lautan siswa yang berjalan keluar tersebut. ia mengerinyitkan dahinya dan
menajamkan pandangan mencari sosok seseorang. Senyum menggores dari bibirnya tak
kala ia meihat sosok yang ia cari. Seorang gadis kecil berumur delapan tahun
dengan rambut kepang dua dan sebuah tai lalat tepat di bawah mata kirinya.
Pria itu berjongkok dan memegangi kedua
pundak gadis kecil tersebut.
“ Kaina, kamu Kaina kan” ucap pria
tersebut dengan nada gembira yang sangat terlihat dari wajah dan suaranya.
Gadis kecil bernama Kaina itu hanya diam dan nampak terkejut. Ia sedikit takut
dengan orang yang ada didepannya, orang yang baru ia jumpai tapi tahu siapa
namanya.
“ Kaina, kamu sudah besar sekarang, mirip
sekali dengan ibumu” lanjut pria itu lagi. Kali ini Kaina mencoba menghilangkan
rasa takutnya, ia beranikan diri untuk bicara.
“ Om kenal sama mama, om siapa, teman
mama?”
Pria itu sejenak terdiam, namun kemudian
senyum kembali terpancar dari bibirnya.
“Iya, om temannya mama kamu Kaina, teman
baiknya.”
“Om, siapa namanya, biar kita ke rumah
saja, rumah Kaina nggak jauh kok dari sini” pinta Kaina pada pria itu. Lagi,
pria itu hanya diam sambi menunduk, sesaat kemudian ia kembali tersenyum
seperti sebelumnya.
“ Nama om, om Deni, sekarang om nggak
bisa main ke rumah Kaina, om ada urusan, om harus pergi sekarang, salam buat
mama Kaina ya” pria tersebut melepaskan pegangan tangannya pada Kaina dan
melangkah pergi hingga hilang dari kejauhan dengan diiringi tatapan Kaina.
***
“ Ma, tadi di sekolah ada om om yang
ngajakin Kaina ngomong gitu, Kaina Cuma bengong aja sih, abis gak kenal” cerita
Kaina pada mamanya sambil menyantap makan siang dengan lahap.
“ Loh, kamu nggak apa-apa kan nak?” tanya
Ailya, mama Kaina.
“ nggak apa-apa ma, om nya punya nama,
namanya Om Deni, katanya dia teman mama, jadi Kaina tenang-tenang aja” celoteh
Kaina sambil terus mengunyah makanannya. Ailya tertegun mendengar nama
tersebut, nama yang tak asing baginya, nama yang begitu akrab dan hangat
baginya. Nama yang mengantarkannya jauh pada masalalunya dulu.
“ Kai, kamu tahu kemana perginya Om
Deni?” rasa penasaran mulai menghinggapi Ailya. Ia menyelesaikan pekerjaan
rumahnya secepatnya. Ia ingin menemui pria itu, pria yang sangat penting
baginya, dan ia tahu ke mana harus mencarinya.
***
Malam menjelang, setelah makan malam keluarga selesai, Ailya minta izin
kepada suaminya untuk keluar mencari sesuatu. Ailya ingin menuntaskan rasa
penasarannya, bukan, tapi rasa rindunya pada pria bernama Deni yang telah lama
ia nantikan, terlalu lama tanpa kabar dan berita. Ia memacu sepeda motornya
secepat yang ia bisa menuju suatu tempat, tempat yang memiliki banyak kenangan
bagi Ailya, juga Deni.
Sebuah taman yang cukup luas dengan
pepohonan rindang yang tak terlalu rapat menghiasi, lampu-lampu taman yang
dibangun berjarak permeter ikut menerangi. Banyak pedagang makanan yang menjadi
penunggu setia taman itu, para pembeli dan muda-mudi yang menghabiskan waktu
menikmati indahnya malam. Malam itu langit sangat terang, cahaya rembulan dan
kerlap-kerlip ribuan bintang menghampar di atas langit taman tersebut.
Ailya masih mencari pria tersebut. tepat
pada sebuah sudut ia terhenti, ia mulai lelah, nafasnya memburu. Ailya bukan
lelah karena harus berputar di taman itu, tapi hasrat rindu yang menggelora
telah membuat detak jantungnya berdetak lebih cepat, lebih cepat dari rasa
ingin tahunya pada pria tersebut.
“ternyata kau datang juga, Ai”
Sebuah
suara menyadarkan Ailya, suara yang ia rindukan, tepat dibelakanganya. Ailya
membalikkan badan. Tampaklah sosok Deni dengan senyum yang khas, senyum yang
membuat masa muda Ailya penuh dengan saat-saat romantis dan cinta. Sesaat,
Ailya tak dapat berkata-kata. Sesaat, dunia dalam fikirannya berhenti berputar,
membeku.
“ hei, duduklah, liat tuh
keringatmu banyak sekali” suara Deni kembali terdengar memecah kebekuan hati
Ailya. Ia mendekat ke arah Deni dan duduk di sampingnya, Ailya menjaga jarak,
ia sadar dirinya telah memiliki suami dan seorang anak. Untuk sesaat, keduanya
hanya diam. Deni diam sambil memandangi hamparan bintang yang kerlap-kerlip
seperti lampu disko, sedangkan Ailya hanya diam tertunduk sambil sesekali
memandang sekeliling.
“ Tempat ini tidak berubah ya, masih sama seperti saat aku pergi dulu”
ucap Deni sambil sayu memandang Ailya yang hanya menatap sekeliling. Ailya
terkejut dengan pandangan itu, pandangan yang dulu sering ia nikmati. Ia
memalingkan wajahnya, menghindar.
“ i iya, tak ada yang berubah
dengan kota ini, hanya orang-orang yang berubah, menjadi dewasa, menjadi tua”
jawab Ailya sebisa mungkin menahan getaran didadanya yang seolah mau meledak.
“ hmmm, Kaina, sudah besar ya
Ai,”
“ kenapa?” Ailya tak menjawab,
ia bertanya balik, ada hal yang sangat ingin ia tanyakan, banyak hal.
“ kenapa kau baru kembali,
kenapa kau tak mencariku, kenapa hanya Kaina yang ingin kau temui? Kenapa? Apa
karena dia anak mu?” bertubi pertanyaan yang dilayangkan Ailya pada Deni. Deni
mengerti itu, ia pun punya banyak yang ingin dibicarakan pada Ailya.
“ Ai, kamu masih ingat? Dulu
kita sering bermain di sini. Melakukan banyak hal, bercerita tentang bermacam
hal. Dulu, di sini kita pernah merangkai banyak hal, merangkai hari esok,
merangkai cinta kita, merangkai masa depan kita”
Deni
menarik napas panjang, ia pelan-pelan mengorek kotak masa lalu yang telah lama
ia simpan.
“ Aku dulu pernah bermimpi akan
jadi pengusaha dan melamarmu di sini, kau melahirkan anak-anak kita dan merawat
mereka bersama. kita sering merayakan banyak hal di sini. Ulang tahun mu yang
ke 17, Hari saat kau diterima masuk universitas. Hari-hari indah mu dan
hari-hari indah ku juga”.
Deni
kembali diam, ia menatap ke arah Ailya, menunggu respon. Ailya menatap mata
Deni, mata yang sama saat Deni muncul di hari pernikahannya dengan Yudhi. Mata
yang telah kehilangan cahaya.
“ Den, kamu tahu bagaimana aku
sangat merindukanmu? Kau tahu bagaimana aku harus menutupi tangisku dengan
senyum bahagia ketika melihatmu datang ke pernikahan ku dulu? Aku tersiksa Den,
aku sangat tersiksa merindukanmu setiap saat. Hanya karena Kaina aku terus
bertahan dan bertahan. Kaina, satu-satunya milikku yang telah kau berikan”.
Ailya terisak mengungkapkan betapa dalam rindunya, betapa sakitnya ketika ia
tidak bisa mengatakan apa yang ia rasakan pada Deni. Orang yang pada saat itu,
merasakan hal yang sama dengannya, sakit.
Deni memandang Ailya dalam-dalam,
memandang wanita yang dulu adalah miliknya, wanita yang hingga kini pun tetap
tak bisa hilang dari hatinya, rindu-nya, suka-nya, duka-nya, nestapa-nya,
lara-nya, senyum-nya, bahagia-nya, hidup-nya.
“ Ai, saat orang tua mu tidak menyetujui
hubungan kita, aku hancur Ai, hancur. Bahkan ketika mendengar kabar bahwa kau
akan menikah, aku merasa dunia ku berakhir. Kau masih ingat apa yang aku
lakukan pada mu sebelum kau menikah? Mengajakmu bertemu untuk yang terakhir,
dan hingga akhirnya kita melakukan hubungan terlarang itu, sejujurnya saat itu aku kehilangan akal
sehat ku, aku benar-benar hancur Ai”. Deni tertunduk sedih mengingat hal buruk
yang pernah ia perbuat dulu, hal yang tak pernah terfikirkan olehnya.
Ailya sangat ingat akan hari itu, hari di
mana ia melihat betapa “rusaknya” laki-laki yang selalu ceria itu. Saat itu
Deni hanya sendirian di tanah rantau tersebut, dan ia sedang sangat-sangat
butuh pertolongan. Tak sampai hati Ailya meninggalkan Deni seorang diri, hujan
pun enggan berhenti saat itu. Tanpa sadar, tanpa di duga peristiwa yang tidak
di inginkan oleh kedua orang tersebut terjadi. Hanya hujan yang tetap pada
tempat dan lakunya.
“ Kamu menyesali apa yang dulu pernah
terjadi di antara kita Ai?” pertanyaan Deni membuat Ailya tertegun. Ia tidak
menjawabnya, ia tidak tahu harus bagaimana menjawabnya.
“ Aku tidak tahu harus bagaimana, aku
bahagia memiliki anak dari mu, apa yang dulu kita rangkai di sini, terkadang
aku sedih ketika aku menyadari bahwa laki-laki yang hidup bersama ku bukanlah
kamu”
Deni menerawang jauh pandangannya ke masa
lalu, masa ketika ia meninggalkan kota ini. Ia yang telah putus asa pergi
membawa adiknya untuk
mencari peruntungan nasib ke kota lain. Hari - hari yang keras untuk seseorang
yang telah kehilangan setengah dari jiwanya. Deni tak pernah menunjukkan semua
masalahnya pada adiknya. Rizal, hanya adiknya yang menjadi semangat baginya
untuk terus bekerja keras
membangun usahanya hingga besar seperti sekarang. Hanya berdua saling
bekerjsama mereka membuat dirinya menjadi pengusaha muda yang sukses.
“ Hari itu, sehari setelah pernikahanmu
aku meninggalkan kota ini. Aku menahan sakit dan luka ku untuk melanjutkan
hidupku bersama adikku. Setiap hari aku bekerja keras untuk adikku, aku bekerja
keras untuk melupakanmu, berharap aku lupa padamu. Sayangnya, setiap detik
kosong dan sendiriku selalu melintas semua tentangmu. Bahkan ketika aku telah
sukses, aku dan uang ku tak mampu membuat hati yang hampa ini kembali
bergairah. Kebahagiaan aku dan uangku semu. Karena pada kenyataannya hanya kamu
yang tetap menghuni
hati ku Ai”.
Ailya terdiam, ia tahu
bahwa Deni merasakan apa yang juga ia rasakan, luka, sakit, sesak, rindu yang
tak tertahankan, tapi ia tak pernah menyangka bahwa begitu sulit kehidupan yang
harus dijalani Deni 10
tahun ini, dengan setengah dari jiwanya saja.
“ Den, akupun masih seperti dulu, tetap
menyimpan cinta ini di dalam hatiku tanpa dapat di gantikan oleh siapapun. Aku
pun merindukanmu disetiap malam dalam tidurku, selalu berharap kau datang menyapaku dalam mimpi
seperti saat kita masih bersama dulu”.
Tiba-tiba handphone Ailya berdering. Yudhi suami Ailya menelpon. Setelah
sedikit percakapan telepon tersebut Ailya mematikan handphone-nya. Ailya harus segera pulang, suaminya mengkhawatirkan
keadaannya, namun rindu membuatnya
masih ingin berlama-lama di sini, di samping Deni. Gurat keraguan nampak jelas
di wajah Ailya yang bulat memanjang, Deni faham sekali dengan ekspresi Ailya..
“ Sepertinya kamu harus pulang Ai, ada orang yang menunggu dan
mengkhawatirkanmu di rumah. Kamu harus pulang”. Deni berucap mantap, ia sadar
siapa mereka saat ini dan bagaimana keadaan mereka masing-masing. Mereka sudah bukan muda-mudi
belasan tahun seperti dulu lagi.
“ Aku masih ingin di sini, bersama mu
sebentar saja” pinta Ailya, baginya pertemuan ini terlalu singkat.
“ Tidak Ai, kamu harus pulang. Di sana
ada orang yang menanti mu. Dia pun sama seperti ku, sangat menyayangimu, dia pun
sama seperti ku, akan terluka jika kehilanganmu. Pulangkah Ai, tempat mu bukan
lagi bersama ku, kau sudah punya tempat bahagiamu sendiri, bersama suamimu,
anakmu, keluargamu ”.
Ailya
menatap lagi wajah Deni, ia tak mampu berkata-kata, benar yang dikatakan Deni.
Ada orang lain yang juga menyayanginya, ia melupakan kasih sayang suaminya
untuk sesaat, sesaat ketika bayang-bayang Deni hadir dalam hidupnya. Perlahan
Ailya memegang tangan Deni. Tangan dengan kehangatan yang sama, tapi dengan
perasaan yang berbeda, hampa. Deni melepaskan tangannya dari tangan Ailya.
Ailya tak bisa memaksa.
“ pulanglah Ai, suamimu sudah
menunggui” perintah itu kembali terucap dari bibir Deni, tapi dengan wajah
tertunduk. Ailya berdiri, ia tetap menatap pria yang kini tertunduk di
hadapannya.
“ Masih inginkah kau mengecup kening ku seperti saat dahulu, saat kita masih menikmati masa-masa muda dulu “. Kata Ailya lagi.
“ Tidak Ai, bukan aku orang yang
akan melakukan itu, tapi suamimu, bukan aku”. Kali ini Deni memandang Ailya,
memandang sangat dalam.
“ pulanglah Ai,,, pulang lah,
lain kali aku akan berkunjung, melihat Kaina, melihat anak kita ”. ucap Deni
lirih.
“ Iya, iya Den .... “. Ailya
melangkah meninggalkan Deni yang tetap diam di tempat. Ailya pulang dengan
tetap membawa cintanya dulu, rindunya yang dulu, lukanya yang dulu, sakitnya
yang dulu. Deni hanya menatap perlahan Ailya menghilang dari pandangannya.
Deni menatap langit, air yang
sedari tadi ia tahankan kini telah mengalir di kedua matanya. Rasa rindu yang
sudah terobati, rasa sakit yang sedikit terhilangkan, dahaga yang terpuaskan.
Perasaan yang selama ini ia tahankan kini telah ia alirkan, ia sudah sedikit
tenang. Baginya sangat menyakitkan ketika kehilangan Ailya, namun melihat Kaina
yang tumbuh besar,
rasa sakitnya sedikit terobati, cita-cita yang dulu ia rangkai bersama Ailya
sedikit terlaksana. Kini ia merasa hidupnya lebih baik.
“ Ai, aku ingin sekali mengecup
keningmu seperti dulu, memegang kedua tanganmu seperti dulu, tapi aku sadar,
aku tak pantas lagi, kau pun harus mengerti, ada yang menyayangimu, ada yang
akan terluka jika kau berada di sini lebih lama, aku hanya harus mengikhlaskan
mu karena aku selalu mencintaimu, dulu, sekarang dan nanti ...”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar