Jumat, 10 Oktober 2014

Dulu, Sekarang, dan Nanti

Dulu, Sekarang, dan Nanti

Tawa bahagia siswa-siswi sekolah dasar membahana riuh menyemarakkan waktu pulang di SD Negeri 1. Para siswa berhamburan berlari seperti ikan-ikan yang baru keluar dari kantong ke dalam kolam, tumpah ruah. Di gerbang sekolah, seorang pria paruh baya dengan usia sekitar 30 tahunan sibuk mengamati sambil mencari-cari seseorang diantara lautan siswa yang berjalan keluar tersebut. ia mengerinyitkan dahinya dan menajamkan pandangan mencari sosok seseorang. Senyum menggores dari bibirnya tak kala ia meihat sosok yang ia cari. Seorang gadis kecil berumur delapan tahun dengan rambut kepang dua dan sebuah tai lalat tepat di bawah mata kirinya.



Pria itu berjongkok dan memegangi kedua pundak gadis kecil tersebut.
“ Kaina, kamu Kaina kan” ucap pria tersebut dengan nada gembira yang sangat terlihat dari wajah dan suaranya. Gadis kecil bernama Kaina itu hanya diam dan nampak terkejut. Ia sedikit takut dengan orang yang ada didepannya, orang yang baru ia jumpai tapi tahu siapa namanya.
“ Kaina, kamu sudah besar sekarang, mirip sekali dengan ibumu” lanjut pria itu lagi. Kali ini Kaina mencoba menghilangkan rasa takutnya, ia beranikan diri untuk bicara.
“ Om kenal sama mama, om siapa, teman mama?”
Pria itu sejenak terdiam, namun kemudian senyum kembali terpancar dari bibirnya.
“Iya, om temannya mama kamu Kaina, teman baiknya.
“Om, siapa namanya, biar kita ke rumah saja, rumah Kaina nggak jauh kok dari sini” pinta Kaina pada pria itu. Lagi, pria itu hanya diam sambi menunduk, sesaat kemudian ia kembali tersenyum seperti sebelumnya.
“ Nama om, om Deni, sekarang om nggak bisa main ke rumah Kaina, om ada urusan, om harus pergi sekarang, salam buat mama Kaina ya” pria tersebut melepaskan pegangan tangannya pada Kaina dan melangkah pergi hingga hilang dari kejauhan dengan diiringi tatapan Kaina.
***
“ Ma, tadi di sekolah ada om om yang ngajakin Kaina ngomong gitu, Kaina Cuma bengong aja sih, abis gak kenal” cerita Kaina pada mamanya sambil menyantap makan siang dengan lahap.
“ Loh, kamu nggak apa-apa kan nak?” tanya Ailya, mama Kaina.
“ nggak apa-apa ma, om nya punya nama, namanya Om Deni, katanya dia teman mama, jadi Kaina tenang-tenang aja” celoteh Kaina sambil terus mengunyah makanannya. Ailya tertegun mendengar nama tersebut, nama yang tak asing baginya, nama yang begitu akrab dan hangat baginya. Nama yang mengantarkannya jauh pada masalalunya dulu.
“ Kai, kamu tahu kemana perginya Om Deni?” rasa penasaran mulai menghinggapi Ailya. Ia menyelesaikan pekerjaan rumahnya secepatnya. Ia ingin menemui pria itu, pria yang sangat penting baginya, dan ia tahu ke mana harus mencarinya.
***
Malam menjelang, setelah makan malam keluarga selesai, Ailya minta izin kepada suaminya untuk keluar mencari sesuatu. Ailya ingin menuntaskan rasa penasarannya, bukan, tapi rasa rindunya pada pria bernama Deni yang telah lama ia nantikan, terlalu lama tanpa kabar dan berita. Ia memacu sepeda motornya secepat yang ia bisa menuju suatu tempat, tempat yang memiliki banyak kenangan bagi Ailya, juga Deni.
Sebuah taman yang cukup luas dengan pepohonan rindang yang tak terlalu rapat menghiasi, lampu-lampu taman yang dibangun berjarak permeter ikut menerangi. Banyak pedagang makanan yang menjadi penunggu setia taman itu, para pembeli dan muda-mudi yang menghabiskan waktu menikmati indahnya malam. Malam itu langit sangat terang, cahaya rembulan dan kerlap-kerlip ribuan bintang menghampar di atas langit taman tersebut.
Ailya masih mencari pria tersebut. tepat pada sebuah sudut ia terhenti, ia mulai lelah, nafasnya memburu. Ailya bukan lelah karena harus berputar di taman itu, tapi hasrat rindu yang menggelora telah membuat detak jantungnya berdetak lebih cepat, lebih cepat dari rasa ingin tahunya pada pria tersebut.
“ternyata kau datang juga, Ai”
Sebuah suara menyadarkan Ailya, suara yang ia rindukan, tepat dibelakanganya. Ailya membalikkan badan. Tampaklah sosok Deni dengan senyum yang khas, senyum yang membuat masa muda Ailya penuh dengan saat-saat romantis dan cinta. Sesaat, Ailya tak dapat berkata-kata. Sesaat, dunia dalam fikirannya berhenti berputar, membeku.
                “ hei, duduklah, liat tuh keringatmu banyak sekali” suara Deni kembali terdengar memecah kebekuan hati Ailya. Ia mendekat ke arah Deni dan duduk di sampingnya, Ailya menjaga jarak, ia sadar dirinya telah memiliki suami dan seorang anak. Untuk sesaat, keduanya hanya diam. Deni diam sambil memandangi hamparan bintang yang kerlap-kerlip seperti lampu disko, sedangkan Ailya hanya diam tertunduk sambil sesekali memandang sekeliling.
                “ Tempat ini tidak berubah ya, masih sama seperti saat aku pergi dulu” ucap Deni sambil sayu memandang Ailya yang hanya menatap sekeliling. Ailya terkejut dengan pandangan itu, pandangan yang dulu sering ia nikmati. Ia memalingkan wajahnya, menghindar.
                “ i iya, tak ada yang berubah dengan kota ini, hanya orang-orang yang berubah, menjadi dewasa, menjadi tua” jawab Ailya sebisa mungkin menahan getaran didadanya yang seolah mau meledak.
                “ hmmm, Kaina, sudah besar ya Ai,”
                “ kenapa?” Ailya tak menjawab, ia bertanya balik, ada hal yang sangat ingin ia tanyakan, banyak hal.
                “ kenapa kau baru kembali, kenapa kau tak mencariku, kenapa hanya Kaina yang ingin kau temui? Kenapa? Apa karena dia anak mu?” bertubi pertanyaan yang dilayangkan Ailya pada Deni. Deni mengerti itu, ia pun punya banyak yang ingin dibicarakan pada Ailya.
                “ Ai, kamu masih ingat? Dulu kita sering bermain di sini. Melakukan banyak hal, bercerita tentang bermacam hal. Dulu, di sini kita pernah merangkai banyak hal, merangkai hari esok, merangkai cinta kita, merangkai masa depan kita”
Deni menarik napas panjang, ia pelan-pelan mengorek kotak masa lalu yang telah lama ia simpan.
                “ Aku dulu pernah bermimpi akan jadi pengusaha dan melamarmu di sini, kau melahirkan anak-anak kita dan merawat mereka bersama. kita sering merayakan banyak hal di sini. Ulang tahun mu yang ke 17, Hari saat kau diterima masuk universitas. Hari-hari indah mu dan hari-hari indah ku juga”.
Deni kembali diam, ia menatap ke arah Ailya, menunggu respon. Ailya menatap mata Deni, mata yang sama saat Deni muncul di hari pernikahannya dengan Yudhi. Mata yang telah kehilangan cahaya.
                “ Den, kamu tahu bagaimana aku sangat merindukanmu? Kau tahu bagaimana aku harus menutupi tangisku dengan senyum bahagia ketika melihatmu datang ke pernikahan ku dulu? Aku tersiksa Den, aku sangat tersiksa merindukanmu setiap saat. Hanya karena Kaina aku terus bertahan dan bertahan. Kaina, satu-satunya milikku yang telah kau berikan”. Ailya terisak mengungkapkan betapa dalam rindunya, betapa sakitnya ketika ia tidak bisa mengatakan apa yang ia rasakan pada Deni. Orang yang pada saat itu, merasakan hal yang sama dengannya, sakit.
Deni memandang Ailya dalam-dalam, memandang wanita yang dulu adalah miliknya, wanita yang hingga kini pun tetap tak bisa hilang dari hatinya, rindu-nya, suka-nya, duka-nya, nestapa-nya, lara-nya, senyum-nya, bahagia-nya, hidup-nya.
“ Ai, saat orang tua mu tidak menyetujui hubungan kita, aku hancur Ai, hancur. Bahkan ketika mendengar kabar bahwa kau akan menikah, aku merasa dunia ku berakhir. Kau masih ingat apa yang aku lakukan pada mu sebelum kau menikah? Mengajakmu bertemu untuk yang terakhir, dan hingga akhirnya kita melakukan hubungan terlarang itu, sejujurnya saat itu aku kehilangan akal sehat ku, aku benar-benar hancur Ai”. Deni tertunduk sedih mengingat hal buruk yang pernah ia perbuat dulu, hal yang tak pernah terfikirkan olehnya.
Ailya sangat ingat akan hari itu, hari di mana ia melihat betapa “rusaknya” laki-laki yang selalu ceria itu. Saat itu Deni hanya sendirian di tanah rantau tersebut, dan ia sedang sangat-sangat butuh pertolongan. Tak sampai hati Ailya meninggalkan Deni seorang diri, hujan pun enggan berhenti saat itu. Tanpa sadar, tanpa di duga peristiwa yang tidak di inginkan oleh kedua orang tersebut terjadi. Hanya hujan yang tetap pada tempat dan lakunya.
“ Kamu menyesali apa yang dulu pernah terjadi di antara kita Ai?” pertanyaan Deni membuat Ailya tertegun. Ia tidak menjawabnya, ia tidak tahu harus bagaimana menjawabnya.
“ Aku tidak tahu harus bagaimana, aku bahagia memiliki anak dari mu, apa yang dulu kita rangkai di sini, terkadang aku sedih ketika aku menyadari bahwa laki-laki yang hidup bersama ku bukanlah kamu”
Deni menerawang jauh pandangannya ke masa lalu, masa ketika ia meninggalkan kota ini. Ia yang telah putus asa pergi membawa adiknya untuk mencari peruntungan nasib ke kota lain. Hari - hari yang keras untuk seseorang yang telah kehilangan setengah dari jiwanya. Deni tak pernah menunjukkan semua masalahnya pada adiknya. Rizal, hanya adiknya yang menjadi semangat baginya untuk terus bekerja keras membangun usahanya hingga besar seperti sekarang. Hanya berdua saling bekerjsama mereka membuat dirinya menjadi pengusaha muda yang sukses.
“ Hari itu, sehari setelah pernikahanmu aku meninggalkan kota ini. Aku menahan sakit dan luka ku untuk melanjutkan hidupku bersama adikku. Setiap hari aku bekerja keras untuk adikku, aku bekerja keras untuk melupakanmu, berharap aku lupa padamu. Sayangnya, setiap detik kosong dan sendiriku selalu melintas semua tentangmu. Bahkan ketika aku telah sukses, aku dan uang ku tak mampu membuat hati yang hampa ini kembali bergairah. Kebahagiaan aku dan uangku semu. Karena pada kenyataannya hanya kamu yang tetap menghuni hati ku Ai”.
                Ailya terdiam, ia tahu bahwa Deni merasakan apa yang juga ia rasakan, luka, sakit, sesak, rindu yang tak tertahankan, tapi ia tak pernah menyangka bahwa begitu sulit kehidupan yang harus dijalani Deni 10 tahun ini, dengan setengah dari jiwanya saja.
“ Den, akupun masih seperti dulu, tetap menyimpan cinta ini di dalam hatiku tanpa dapat di gantikan oleh siapapun. Aku pun merindukanmu disetiap malam dalam tidurku, selalu berharap kau datang menyapaku dalam mimpi seperti saat kita masih bersama dulu”.
Tiba-tiba handphone Ailya berdering. Yudhi suami Ailya menelpon. Setelah sedikit percakapan telepon tersebut Ailya mematikan handphone-nya. Ailya harus segera pulang, suaminya mengkhawatirkan keadaannya, namun rindu membuatnya masih ingin berlama-lama di sini, di samping Deni. Gurat keraguan nampak jelas di wajah Ailya yang bulat memanjang, Deni faham sekali dengan ekspresi Ailya..
“ Sepertinya kamu harus pulang Ai, ada orang yang menunggu dan mengkhawatirkanmu di rumah. Kamu harus pulang”. Deni berucap mantap, ia sadar siapa mereka saat ini dan bagaimana keadaan mereka masing-masing. Mereka sudah bukan muda-mudi belasan tahun seperti dulu lagi.
“ Aku masih ingin di sini, bersama mu sebentar saja” pinta Ailya, baginya pertemuan ini terlalu singkat.
“ Tidak Ai, kamu harus pulang. Di sana ada orang yang menanti mu. Dia pun sama seperti ku, sangat menyayangimu, dia pun sama seperti ku, akan terluka jika kehilanganmu. Pulangkah Ai, tempat mu bukan lagi bersama ku, kau sudah punya tempat bahagiamu sendiri, bersama suamimu, anakmu, keluargamu ”.
Ailya menatap lagi wajah Deni, ia tak mampu berkata-kata, benar yang dikatakan Deni. Ada orang lain yang juga menyayanginya, ia melupakan kasih sayang suaminya untuk sesaat, sesaat ketika bayang-bayang Deni hadir dalam hidupnya. Perlahan Ailya memegang tangan Deni. Tangan dengan kehangatan yang sama, tapi dengan perasaan yang berbeda, hampa. Deni melepaskan tangannya dari tangan Ailya. Ailya tak bisa memaksa.
                “ pulanglah Ai, suamimu sudah menunggui” perintah itu kembali terucap dari bibir Deni, tapi dengan wajah tertunduk. Ailya berdiri, ia tetap menatap pria yang kini tertunduk di hadapannya.
          “ Masih inginkah kau mengecup kening ku seperti saat dahulu, saat kita masih menikmati masa-masa muda dulu “. Kata Ailya lagi.
                “ Tidak Ai, bukan aku orang yang akan melakukan itu, tapi suamimu, bukan aku”. Kali ini Deni memandang Ailya, memandang sangat dalam.
                “ pulanglah Ai,,, pulang lah, lain kali aku akan berkunjung, melihat Kaina, melihat anak kita ”. ucap Deni lirih.
                “ Iya, iya Den .... “. Ailya melangkah meninggalkan Deni yang tetap diam di tempat. Ailya pulang dengan tetap membawa cintanya dulu, rindunya yang dulu, lukanya yang dulu, sakitnya yang dulu. Deni hanya menatap perlahan Ailya menghilang dari pandangannya.
                Deni menatap langit, air yang sedari tadi ia tahankan kini telah mengalir di kedua matanya. Rasa rindu yang sudah terobati, rasa sakit yang sedikit terhilangkan, dahaga yang terpuaskan. Perasaan yang selama ini ia tahankan kini telah ia alirkan, ia sudah sedikit tenang. Baginya sangat menyakitkan ketika kehilangan Ailya, namun melihat Kaina yang tumbuh besar, rasa sakitnya sedikit terobati, cita-cita yang dulu ia rangkai bersama Ailya sedikit terlaksana. Kini ia merasa hidupnya lebih baik.

                “ Ai, aku ingin sekali mengecup keningmu seperti dulu, memegang kedua tanganmu seperti dulu, tapi aku sadar, aku tak pantas lagi, kau pun harus mengerti, ada yang menyayangimu, ada yang akan terluka jika kau berada di sini lebih lama, aku hanya harus mengikhlaskan mu karena aku selalu mencintaimu, dulu, sekarang dan nanti ...”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Negeri di Awan

Di bayang wajah mu Ku temukan kasih dan hidup Yang lama lelah aku cari Dimasa lalu Kau datang padaku Kau tawarkan Kasih hati yang tul...