Introduce of Me
Pada sebuah
tempat yang penuh dengan intrik. Redstars sedang berkumpul bersama Arainan.
“Aku tak bisa memaksanya, dan bukan prinsipku untuk menyerang dari belakang”
ucap Arainan. “Si mesum ini juga punya harga diri rupanya” balas Anwar. Arainan
nampak kesal mendengarnya.
“Begini saja,
kau ikuti strategi ku, strategi ini cocok dengan jiwa mesummu itu”.
“Sial, tapi
kalau cocok boleh deh, apa ide mu?
Dan tak lama
setelah itu, dua pertarungan besar akan meramaikan SMA 4 yang damai ini.
***
Malam itu Adi
sangat sibuk dengan game Playstation 1 nya. “Di, makan dulu nak, kamu belum
makan sejak sore tadi” seru ibu yang sampai mendatangi kamar Adi. Adi masih
asyik saja dengan permainannya, suara alunan radio menjadi hiburannya malam
itu. alunan lagu sendu membuat suasana bermain Adi jadi kusyuk. Tiba-tiba
suasana jadi hening, alunan lagu dari radio hilang. “Di, makan dulu, kamu masih
belum makan sejak tadi sore!” kali ini Ibu masuk kamar Adi dan langsung
mematikan radio. “Eh Ibu, iya bu, nanggung dikit lagi” seru Adi sambil tetap
melanjutkan pekerjaan. “Sekarang, Adi!!!” bentak Ibu. Kali ini tanpa ba bi bu
Adi langsung meloncat dari arena bermainnya. “Iya bu”. Adi tak berani melawan
kalau Ibu sudah membentak seperti itu. “Dasar anak jaman sekarang harus di
bentak dulu baru jalan” keluh ibu.
Ibu
menghampiri Adi di meja makan.
“Di, kapan
rapor semester satu ini dibagikan?.
“Sabtu depan
bu, sekarang sekolah lagi classmeeeting,
ibu bisa datang kan?”
“Hmmm, tentu,
ibu akan datang tapi mungkin ibu mesti ke toko sebelum itu, tidak apa-apa kan?”
“Iya bu,
lagipula bagi rapornya paling cepat jam 09.00”
“Iya Di” jawab
ibu sambil tersenyum. Sebagai orang tua tunggal, ibu hanya malam hari saja
bertemu dengan Adi di rumah, karena sejak pagi hingga sore ibu harus ke toko di
pasar. Pagi-pagi sekali ibu sudah mesti bangun untuk memasak. Untungnya Adi
sudah terbiasa mandiri sejak ayah dan ibunya bercerai sejak ia di Sekolah
Dasar. Bagi ibu, menyediakan sedikit waktu untuk putranya adalah sebuah
kebahagiaan.
“Libur nanti,
Aji ingin kesini katanya Di” ucap ibu lagi. Adi tertahan sejenak. Kebahagiaan
terpancar dari wajahnya.
“Ayah juga
bu?” tanya Adi. Ibu menggeleng, raut wajahnya menampakkan kesedihan. Adi yang
menyadari itu menyesali pertanyaannya. Tanpa sengaja ia telah melukai perasaan
ibunya.
“Maaf bu, Adi
tidak bermasud menyakiti hati Ibu”. Ibu menggeleng, ibu mencoba tersenyum.
“Tak apa nak,
ibu senang karena Aji akan kesini, mungkin ibu akan mengajak kalian bertamasya
saat Aji kesini”.
“Iya bu?”
“Iya nak”
“Yess! Makasih
bu”
“Iya, habiskan
makananmu dulu”
Ibu tersenyum
melihat kebahagiaan putranya itu, meski terselip duka dari mata ibu. Ibu masih
harus menahan hati, ia sadar, Adi tentu rindu ayahnya. Namun ibu masih belum
bisa memaafkan kesalahan mantan suaminya. Sakit masih menaungi hati Ibu.
Perselingkuhan ayah dengan sekretarisnya waktu itu benar-benar membuat ibu
terpukul. Ibu tak punya pilihan selain jalan berpisah, perpisahan yang juga
memisahkannya dengan satu putranya lagi yang ikut dengan ayahnya. Ayah menikah
dengan sekretarisnya meski tak lama ayah bercerai lagi dengan sekretaris
tersebut. saat ini ayah pun sama seperti ibu, hanya berdua dengan Aji, adik
Adi.
***
Adri menikmati
makan malam bersama dengan Bu Darmi, pembantu sekaligus orang yang telah
menjaga Adri sedari kecil. Bu Darmi selalu menemani makan malam Adri jika Adri
sedang makan malam di rumah, karena biasanya Adri selalu makan malam di luar.
Meski begitu, Adri selalu membawakan Bu Darmi makanan. Tapi kali ini Adri telah
meminta Bu Darmi untuk memasak makanan kesukaannya. Adri melahap makanan yang
ada semuanya. Ia sengaja tak jajan hari ini.
“Ayah dan Ibu,
kapan katanya akan pulang Mbok?”
Bu Darmi
terdiam, ia tak ingin merusak suasana makan Adri dengan jawabannya.
“Makan dulu
Mas, nanti saja ceritanya. Mbok buatin jus dulu ya”. Sambil Bu Darmi beranjak
menuju dapur. Bu Darmi lah orang yang menjaga rumah besar ini, rumah besar yang
terlalu besar untuk keluarga kecil ini. Kedua orang tua Adri selalu sibuk dan
pulang ke rumah adalah hal yang jarang. Kalaupun pulang, paling malam dan pagi
harus berangkat lagi. Hal demikian akhirnya membuat Adri enggan di rumah. Rumah
tak senyaman itu untuk Adri.
“Mbok, aku
udah nih, udah habis semua”
“Iya Mas, ini
minumnya”
“Makasih Mbok”
“Mas, kenapa
tanya Bapak sama Ibu? Bapak sama Ibu tadi siang menelpon kalau mereka akan ke
Itali untuk seminggu ke depan”.
Adri
menghembuskan nafas panjang, ia maklum, ia menghabiskan minumnya. “Nggak
apa-apa Buk, nanya aja kok, hehehe”. Bu Darmi memperhatikan Adri. Ia tahu ada
yang disembunyikan Adri, Bu Darmi sangat tahu akan Adri karena baginya Adri
sudah seperti anaknya sendiri. “Mas, kalau ada apa-apa, bilang sama Mbok,
mungkin Mbok bisa bantu”. Adri terdiam, senyumnya masam. “Nggak apa-apa mbok,
aku Cuma rindu mereka” Ucap Adri sambil berdiri. “Mbok, aku ke kamar dulu ya”.
Kemudian Adri berlalu menuju kamarnya. “Iya Mas”. Bu Darmi selalu merasa
kasihan akan tuan mudanya itu, tapi setidaknya Adri tak keluar malam ini,
karena biasanya jika permasalahan orang tuanya, Adri akan keluar malam dan
pulang entah jam berapa. Bu Darmi-lah yang setia menanti kepulangan tuan
mudanya meski kadang tak pulang sama sekali. Dalam kamar Adri hanya menatap
keluar, ke jalanan dari jendela kamarnya di lantai dua. Jalanan amat ramai saat
itu, dan Adri hanya menatap dalam kediaman. Maaf Mbok, kebutuhan anak akan
orang tua adalah hal yang tak tergantiakan, suara Adri lirih.
***
Rumah Andra,
malam. Suasana hangat terpancar dari rumah sederhana ditepi gang kecil itu.
Andra beserta ayah dan ibunya tengah menikmati makan malam keluarga. Sudah jadi
kebiasaan di rumah Andra untuk makan malam bersama ketika semua orang telah
berkumpul, suasana yang tidak setiap hari bisa mereka rasakan terutama jika
Andra harus kerja malam hari menjaga mini market tempatnya bekerja. Pembahasan
malam itu adalah tentang liburan dan rencana-rencana ke-depannya. “Bu, nanti
yang pergi ambil rapor Andra siapa?”. Ibu Andra membuka suara. “Biar Ibu yang
menjemputnya Ndra, kalau bapakmu dia kan kerja dari pagi”. “Sekalian ibu juga
ingin bertemu dengan teman-teman yang sering kau ceritakan pada Ibu itu, siapa
namanya? Adi dan Heri, bukan?”. Andra menahan tawa mendengar ucapan Ibunya.
“Hahaha, bukan Heri bu, tapi Eri, Erika, dia cewek bu, anaknya cantik dan
baik”. Ujar Andra sambil tersenyum. “Oh iya itu, jadi nggak sabar ketemu teman-temanmu
Ndra”. Andra tersenyum-senyum saja mendengarnya. “Oh ya, libur nanti kamu jadi
kerja dari siang sampai malam?” tanya Bapak sambil mengambil nasi tambah. Ibu
refleks menahan Bapak yang mau mengambil nasi tambah. “Jangan makan banyak Pak,
ingat gula darahnya”. “Dikit aja bu, Bapak masih lapar”. Bapak masih berusaha
mengambil nasinya.
“Jadi Pak, dan
kalau tidak ada halangan, mulai sekolah nanti tabungan Andra akan cukup untuk
membeli sebuah sepeda motor baru” ucap Andra sambil tersenyum.
“Bagus itu
Ndra, Bapak bangga sama kamu”. Balas Bapak sambil masih mengunyah makanannya.
“Makannya di
rem dong Pak”. Ibu kembali mengingatkan
“Hehe, santai
Bu, Bapak lagi senang nih”
Dan
keributan-keributan kecil yang menghangatkan selalu mewarnai meja makan
keluarga ini hingga malam menjelang dan lelap menina-bobo-kan.
***
Hari ke-3 Class Meeting, suasana yang menyenangkan
karena beberapa perlombaan sudah mulai memasuki babak terakhir. Suasana yang
akan amat dinanti-nanti bagi yang suka olahraga dan seni dalam menampilkan
keahliannya. Bagi yang tidak berminat terhadap Class Meeting, bisa dipastikan berada di kantin, di dalam kelas
berkumpul dan bercerita, atau tempat-tempat lainnya yang bisa saja melakukan
hal-hal yang melanggar, toh saat-saat seperti ini keaman dan pengawasan dari
pihak sekolah sudah berkurang. Kebebasan Class
Meeting juga dimanfaatkan oleh Red Stars dan Arainan dalam mencapai tujuan.
Arainan mendatangi gerombolan siswi kelas satu tempat dimana Lara, teman dekat
Randi sedang berkumpul bersama teman-temannya. Dengan senyum penuh percaya diri
Arainan mendatangi Lara, ia berdiri tepat dihadapan gadis itu. khalayak waktu
itu terhening sesaat, waktu ter-jeda karenanya, tak terkecuali Lara. Ia
terkejut akan kedatangan Arainan yang mengabaikan siapapun selain dia. Arainan
menghadapkan wajahnya ke wajah Lara, batas wajah antara keduanya hanya
sepersekian senti saja. Lara menahan napas sesaat ketika ia menghirup aroma
rokok dari hembusan napas Arainan. Lara panik, ia pucat, keringatnya membasahi
wajah ayu-nya. Arainan tersenyum dan tanpa sepatah kata hanya menatap tajam ke
arah Lara. Saat-saat yang mendebarkan bagi Lara sebelum akhirnya ia
menghentakkan tubuhnya berdiri, dan berlari meninggalkan Arainan. Semuanya
terjadi begitu cepat dan semesta sekitar mereka tetap membisu, Arainan menatap
kepergian gadis itu, yang ia sendiri tak tahu namanya. Senyum kemenangan tampil
di wajah Arainan ketika arah lari yang di tuju oleh Lara justru memunculkan
sosok yang amat ia cari, Randi.
Randi yang
saat itu tengah berjalan menuju kelas tersenyum melihat Lara berlari kearahnya.
Senyum Randi perlahan berubah ketika ia jelas melihat air mata mengaliri wajah
gadis itu. “Lara” panggil Randi, meski saat itu Lara tak menghiraukan panggilan
Randi, ia terus berlari sambil menutupi mulutnya, menahan isak menuju kamar
mandi. Randi tersengat, emosinya naik, ia cari arah datangnya Lara tadi. Di
antara gerombolan siswi teman sekelasnya, Randi menemukan sosok Arainan, yang
tersenyum puas. Kini Randi dan Arainan telah bertemu muka, saling bertatapan,
raut kebencian tampak jelas dari wajah Randi ketika senyum licik Arainan
menghiasi wajahnya. “Jangan salah paham ya, aku hanya menyukai senyuman gadis
tadi dan ingin menikmatinya sejenak, hehehe” ucap Arainan penuh kemenangan. Randi
masih diam, tatapan matanya tajam menatap Randi. “Ayolah bung, dia hanya teman
mu kan? Tak perlu marah begitu, lagipula ...” belum sempat Arainan
menyelesaikan kata-katanya, sebuah tinju mengarah kewajahnya, refleks yang
bagus, Arainan menghindarinya. Arainan mundur selangkah, dan siswi-siswi yang
tadi hanya melihat mulai berteriak tak tentu melihat perkelahian itu. “Kau, aku
akan membuatmu menyesal kribo sialan” tatap Randi sambil menunjuk Arainan.
“Hehe, bagus kalau begitu, aku tunggu kau di Hutan Kota sore ini” Kemudia Arainan
berlalu pergi. Randi menatap kepergian Arainan. Bagi orang-orang yang terbiasa
berkelahi seperti mereka, sekolah memang bukan tempat yang nyaman untuk
melakukannya.
“Hei Ran, itu
Lara sudah kembali” tunjuk salah satu siswi tadi. Randi menoleh kebelakang, ia
berlari ke arah Lara. Ia hampiri gadis itu, ia pegang dua tangannya, ia tatap
wajahnya, wajah yang telah basah oleh air, tapi ketakutan masih tampak dari
mata itu. Randi menggandeng tangan Lara, mengajaknya pergi. “Kita pergi Lara”.
Lara hanya menurut, bagi Lara, Randi adalah teman yang bisa ia percaya lebih
dari apapun, pun bagi Randi, Lara adalah segalanya untuk hatinya.
***
Lapangan sepak
bola. Sedang ada pertandingan antara kelas X.1 dan XII IPA 2. Siswi-siswi kelas
X.1 oleh siswa-siswa yang bertanding diminta untuk memberi dukungan, memberikan
semangat. Tidak hanya itu, siswa kelas X.1 yang tidak ikut main pun disuruh
memberi dukungan. Jadilah suasana pertandingan itu ramai akan suporter dari
siswa kelas X.1, berbanding terbalik dengan kelas XII IPA 2 yang minim
pendukung. Bahkan Adi pun ada disana, sebagai suporter bersama Andra yang
memaksa Adi untuk menonton pertandingan. Suasana amat riuh pada pertandingan
itu. Serangan dari kedua tim silih berganti mengancam masing-masing lawan,
sebuah pertandingan yang penuh semangat dan sangat menghibur. Ini pertandingan
semifinal di cabang sepak bola dalam kegiatan Class Meeting ini. Empat tim yang
lolos ke semifinal ini terdiri dari kelas X.1, XII IPA 2, XII IPS 3, dan XI IPS
2. Kelas X 1 adalah satu-satunya kelas X yang lolos ke semifinal karena
ternyata banyak pemain-pemain yang bagus saat masih di SMP, calon-calon penerus
tim sepakbola sekolah, begitulah kata khalayak si SMA N 4 ini.
“Liat tu Di,
si Joko Udin, dia memang hebat sekali mainnya”. “Tim sepak bola SMP ku saja
dikalahkan oleh dia dulunya”. Ucap Andra sambil menunjuk-nunjuk Joko Udin yang
dengan lincahnya melewati lawan-lawannya. Adi hanya menyaksikannya. Meski
kurang suka olahraga dan tak paham sepakbola, namun ia paham bahwa permainan
teman-teman sekelasnya sungguh bagus untuk dilihat. Hanya saja, lawan juga
merupakan tim yang bagus. “Iya iya, dia memang hebat, Sutrisna juga bagus
mainnya, tapi lawan juga kuat, susah nih buat menang”. Sahut Adi. Andra reflek
menoleh ke Adi, tatapan tajam. “Itulah gunanya kau ada disini, keluarkan
suaramu! Dukung mereka biar lebih bersemangat! Ucap Andra penuh semangat sambil
menarik-narik tangan Adi keatas untuk membentuk yel-yel. “Ngajak berantem ya?”
seru Adi ketus menarik paksa tangannya sambil berjalan pergi. “Yah dia kabur,
ngambekan nih” sambil Andra menyusul dari belakang.
***
Disebuah sudut
sekolah, Redstars dan Arainan masih merencanakan hal-hal buruk untuk
keberhasilan tujuan mereka.
“Gimana tadi? Sudah
lumayan bagus kan buat mancing si Randi biar dia keluar dari kandang dan
melawan ku?”
“Itu lebih
dari cukup Nan, gimana menurutmu Ron?”
Baron yang ditanya masih diam.
Baron masih tidak percaya dengan apa yang dilakukan Arainan tadi. Ia merasa
bersalah pada Lara karena ialah yang memberi informasi pada Anwar Faisal soal
Lara dan Randi. Ia masih tertegun hingga Choki menepuk pundaknya. Baron
gelagapan saat itu. Semua orang saat itu disana memperhatikan sikap Baron. Mereka
sama-sama paham bahwa Baron adalah laki-laki yang amat menghormati perempuan. Dan
apa yang terjadi tadi, adalah pukulan buatnya. Arainan berjalan menghampiri
Baron.
“Nak,
aku berterima kasih atas info darimu, aku tadi itu tidak serius, jika bisa aku
tidak ingin melakukan cara itu”. Baron masih terdiam. Dia menatap Arainan. Tatapan
Arainan jelas dan tajam, tak ada kebohongan dalam tatapannya. Baron menarik
nafasnya dalam-dalam. “Maaf, aku terlalu terbawa perasaan” seru Baron lagi. “Aku
keluar dulu” Dan Baron pun melangkah keluar dari tempat itu, gudang kosong
dibelakang sekolah. Anwar Faisal dan yang lain membiarkan saja, mereka fokus
pada rencana selanjutnya, target selanjutnya Anwar Faisal, Adri Ramdhan.
***