Pencarian
Istirahat
siang itu. Aku dan Andra menuju tempat biasa kami berteduh, “surga kami”,
begitulah kira-kira.
“Di, lu mau
ambil ekskul apa nih? Tadi di kelas gue ketua kelas udah mulai pendataan tuh,
sekalian yang mau gabung OSIS juga.”
Bagi
siswa-siswa baru, hari ini sosialisasi tentang kegiatan ekskul memang baru saja
dilakukan dan artinya sebentar lagi akan mulai hari-hari sibuk sepulang
sekolah. Meski begitu, kegiatan ekstra
kurikuler bukanlah kegiatan wajib, hanya bagi yang punya minat dan mau
menyalurkannya saja, mungkin.
“Belum tau,
loe ambil apa?”
“Gue ambil PMR
aja, soalnya denger-denger si Ery ikut PMR juga”.
“Ery???”
“Iya, Ery,
hmmm ... cewek yang kemaren itu looh, yang ...”
“ohhhh, dia”.
“Lah terus?
Aku menatap
sinis Andra. Ada sesuatu yang sepertinya menjadi rencana busuk dari
keinginannya untuk masuk PMR.
“Kau punya
rencana busuk rupanya yaaaaa, haaaah”
“Hehehe, loe
jangan ngomong gitu lah, siapa tahu bisa berkenalan lebih jauh”
Andra terlihat
begitu bahagia. Sepanjang jalan senyum tak lepas dari wajahnya, sambil sesekali
senandung terlantun dari bibirnya.
“Heei, jangan
bilang kalau kau suka sama cewek itu, Ndra”
“Sttttttt”
Andra
menempelkan tangannya ke mulut ku, persis seperti adegan romantis, tapi ini
versi jijiknya.
“Apaan sih”
Aku
memberontak melepaskan tangan Andra jauh-jauh.
“Pucuk di
cinta, liat tuh”
Andra menunjuk
ke depan, tepat di tempat biasa kami nongkrong. Telah ada Ery di sana,
sendirian.
“Tuhan
membantuku Di”
Andra
mempercepat langkahnya. Aku hanya menatap heran.
“Bocah
kasmaran” umpat ku pelan
“Hai, Ery”.
Andra dengan
senyum termanis yang ia punya menyapa Ery. Gayung bersambut, sapa berbalas
datang dari Ery.
“Hai juga,
Ndra, hai Adi”. “Ternyata benar dugaan ku, kalian pasti bakal kemari juga”
Hari itu,
entah kenapa suasananya sangat berbeda. Hari itu, Ery terlihat tidak seperti
hari-hari yang lalu. Ia lebih banyak tersenyum dan bercanda bersama Andra dan
sesekali aku ikut nimbrung. Meski tidak lama, hari itu aku mulai sedikit
mengenal sisi manis dari Ery. Begitupun dengan perasaan Andra pada Ery,
terlihat sekali jika ia mulai menyukai Ery. Di hari yang cerah itu, di hari
yang hanya beberapa menit saja, terlihat bahwa akan ada teman baru untuk ku dan
Andra.
“Besok-besok
ke sini lagi yaaaa”
Ucapan
terakhir Ery hari itu sebelum ia masuk kekelasnya, kelas X.2. Hal yang akan
sangat di-amin-kan oleh Andra.
***
Siang itu,
seusai sekolah. Di salah satu sudut kota, tempat bekas bangunan perumahan gagal
selesai berkumpullah beberapa remaja SMA. Mereka tengah asik menikmati permainan
kartu dengan ditemani sebotol minuman keras dan pelengkap rasa beberapa bungkus
kretek. Keasikan mereka sedikit terusik dengan deru mesin ninja yang menuju ke
arah mereka. Adri Ramdhan turun dari sepeda motornya, melangkah pasti menuju
target yang telah beberapa hari ini ia intai keberadaannya, Red Stars. Adri
berdiri tepat dihadapan anak-anak Red Stars.
“Ada keperluan
apa bocah?”
Seseorang
diantara mereka menyahut.
“Tau kenapa
anak-anak SMA 7 kemaren nyerang sekolah?”
Jawaban
langsung dan tajam dari Adri. Red Stars menghentikan kegiatannya, satu persatu
mulai menatap ke arah Adri.
“Itu bukan
urusan mu kan, bocah”.
Pria tadi
kembali menjawab. Ia kemudian berdiri dan menghampiri Adri.
“Apapun bisa
terjadi kan, kenapa anak-anak SMA 7 nyerang kita? Bisa saja karena ada yang
mengganggu mereka, dan itu bisa siapa saja”. “Setiap orang dari sekolah kita
punya kesempatan yang sama untuk mengganggu anak-anak SMA 7.”
“Benar itu,
kau siswa baru kan? Bicaralah yang sopan dengan senior mu!”
Anggota Red
Stars yang lain menimpali.
“Seingatku Red
Stars itu berlima kan? Kenapa sekarang ada enam?”
Ada enam orang
ditempat itu, info yang berbeda dari apa yang dikatakan Andra kemarin. Hanya
saja siswa yang satu lagi adalah siswa baru.
“Ohh, dia
calon anggota baru, sedang dalam masa orientasi”.
Jawab pria
yang berdiri tadi.
“Aku tidak
peduli itu, mau lima atau enam”.”Kalian pasti ingat dengan anak SMA 7 yang
kalian palak beberapa hari yang lalu kan?”
“Dia itu salah
satu petinggi di SMA 7, meski begitu dia bukanlah berandalan”. “Kalian sadar
kalau kalian sudah memulai perselisihan dengan geng terkuat di SMA 7?”
Anak-anak Red
Star menatap Adri dengan mengerinyitkan dahi. Lalu mereka tertawa, kecuali anak
baru calon anggota mereka. Adri sadar ia akan diabaikan oleh Red Stars.
“Pulanglah
bocah, kami tidak pernah peduli siapa yang akan kami palak”.
“Aku, Anwar
Faisal, yang dijadikan ketua geng ini, kami selalu bertindak seperti ini dan
kami tidak peduli siapapun korban kami, bahkan itu jika siswa sekolah sendiri,
kau mengerti!!!”
Anwar Faisal
menatap tajam ke arah Adri. Adri tak bergeming, ia membalas tatapan tajam itu.
“Baiklah, aku
hanya sekedar meminta kalian untuk menyadari kesalahan kalian dan meminta maaf
ke anak kemaren itu, tapi sepertinya kalian lebih suka dihajar dari pada minta
maaf”.
“Aku menantang
kalian semua!”. “Jika kalian berani”?
Anwar Faisal
mendelik. “Kau sadar apa yang kau ucapkan itu bocah!?”. Kau membuatku kesal”.
“Kalian jauh
membuatku lebih kesal lagi, Red Star, kalian memalukan nama SMA 4, jadi biarlah
aku yang akan membereskan kalian”.
Braakkkk,
suara gebrakan meja
“Apa-apaan
kau, haaaaaaaaah”
Anak-anak Red
Stars meradang. Semuanya mulai berdiri, memasang wajah murka ke arah Adri.
Anwar menahan anggotanya.
“Besok, di
gudang bekas pabrik tahu, aku tunggu kalian sepulang sekolah, Red Stars!”
Kemudian Adri
berbalik, meninggalkan Red Stars yang menahan amarah. Tepatnya anggota yang
emosinya tertahan oleh ketuanya.
“War, kita
harus kasih sesuatu yang berharga bocah itu”.
“Iya War, dia seakan
tak memandang siapa kita”.
Anwar Faisal
hanya diam. Ia masih terus berpikir. Baginya berkelahi dengan junior sendiri
bukanlah kebiasaannya. Ia akan berkelahi dengan junior sendiri jika terpaksa.
Namun hari itu, ada harga diri yang sudah ditantang, ia harus datang dan
menunjukkan siapa Red Star.
“Bersiaplah
kawan-kawan, besok kita akan menunjukkan Red Stars yang sebenarnya”.
***
“Kelas hari
ini membosankaaan, mendengarkan ceramah dari pagi sampai siang”.
Gerutu Andra
sepanjang jalan. Sedangkan aku yang ada di kelas X.1 sibuk dengan Matematika
dan Fisika pagi ini. Pagi yang buruk jika matematika dan fisika yang harus kau
temui, kegantenganmu akan berkurang setengah bahkan seluruhnya jika siang
menjelang.
“Di, aku
sedikit heran dengan kau dan Adri”.
“Heran
kenapa?”. “Aku merasa tidak ada yang aneh”.
“Aku heran
kenapa kau dan Adri bisa masuk kelas X.1, itu kan kelas untuk anak-anak yang
otaknya diatas rata-rata di sekolah kita”.
“Maksudmu
apaa? Hah? Ngeremehin nih.
“Kalau kau,
mungkin aku akan sedikit masih terima meski kayaknya kau masuk X.1 berbau
keberuntungan, tapi Adri? Bocah berandalan itu kok bisa?”
Aku sedikit
terdiam. Benar yang dikatakan Andra, X.1 adalah kelas unggul di SMA 4 yang mana
dipilih berdasarkan nilai rapor semasa SMP, artinya mereka yang masuk X.1
adalah siswa-siswa terbaik di SMP-nya. Aku, meski bukanlah siswa terbaik semasa
SMP, setidaknya selalu masuk 5 besar, dan bagaimana dengan Adri? Entahlah, ia
cukup jago dalam pelajaran matematika saat dikelas selama yang ku lihat. Tugas
fisikanya juga selalu mendapat pujian, meski baru satu kali.
“Entahlah
Ndra, tapi nilai matematika dan fisikanya lumayan bagus loh di kelas”.
“ Haah, masa?”
“Iya”.
“Sudahlah
lupakan si Adri itu, Ery sudah duluan sampai di “surga kita” rupanya, hahhah”.
Dan tanpa
menunggu aba-aba, dia berlari menuju tempat nongkrong itu.
“Aku pikir
Cuma kita yang bisa menikmati rerumputan sambil duduk-duduk atau tiduran
dibawah pepohonan rindang ini, tapi ternyata tidak ya”.
Ujar Ery
sambil menunjuk ke pohon lain diman ada seseorang yang tertidur dibawahnya.
“Itu si Adri
kan Di?”.
“Iya Ndra”.
“Kalian
mengenalnya?”. “Sudah beberapa kali aku melihatnya tidur di sana saat ke sini
sendirian”.
Ery yang tak
mengenal Adri tentu sedikit penasaran.
“Tidak mencoba
mengajaknya berkenalan ry?” ucapku
“Hei Di,
jangan sembarangan, dia itu berbahaya!” potong Andra
“Hahaha, dia
siwa SMA sama seperti kita Ndra, tidak berbahaya asal tidak cari masalah
dengannya”.
“Apa yang
kalian bicarakan?”. “Siapa dia?”.
Ery masih
tetap dengan pertanyaan yang sama, dengan rasa penasaran yang lebih lagi.
“Dia itu anak
nakal Ry, suka berkelahi, pokoknya berbahaya!”. Andra selalu dengan sentimen
dan penilaiannya tanpa mengenali terlebih dahulu, Andra memang seperti itu.
“Bukan Ry, dia
Adri Ramdhan, kelas X.1, sedikit emosian sih, tapi sepertinya dia anak yang
baik”. Aku mencoba menghilangkan penilaian sentimen dan negatif tentang Adri.
Bagi ku, tak pantas menilai seseorang sedemikian rupa jika tak mengenal dan
berteman dengan orang tersebut.
“Hmmm ...,
begitu, mungkin suatu saat punya kesempatan mengenalnya, kan Di?”
“Iya, semoga
saja, Ry”.
“Terserah
deh”. Ujar Andra.
“Hahaha”
Aku dan Ery
tertawa dengan tingkah Andra. Perlahan dan perlahan, kami bertiga mulai dekat,
tidak hanya sebatas disekolah, diluar sekolah jika ada kesempatan kami pun terkadang
kumpul-kumpul, tidak terlalu sering, hanya sebatas kapasitas yang dimiliki anak
SMA untuk bisa berkumpul dengan teman-temannya, hanya seperti itu.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar