Step by
step
Malam itu temaram, mendung lagi-lagi mengunjungi langit
malam “Kota Ini” seakan ia enggan berpisah lama dengannya. Suasana sunyi ikut
meramaikan pesta hening malam itu. Pada sebuah kamar dalam sebuah rumah, Adi
tengah menatap lekat jauh dari kursi tempatnya terpaku. Ia menatap jauh
melewati jendela kamarnya. Sebenarnya ia baru saja menyelesaikan PR, meja
belajarnya yang diposisikan pas pada jendela kaca kamar membuatnya sesaat
tertawan akan hitam pekat malam itu. Tiba-tiba rintik hujan mulai terjun satu
persatu, perlahan menggores jendela kaca kamarnya. Alunan rintik perlahan
memati-kan pesta sunyi malam dipikiran Adi. Adi menghela napas panjang,
mula-mula ia mulai menikmati aroma hujan yang hanya sekejap telah bergemuruh
dan lebat.
Menatap hujan yang kian mengguyur membuat Adi mengingat
kembali peristiwa pagi tadi disekolah, ketika ia disapa oleh seorang gadis
manis dengan kaca mata yang membingkai diwajahnya. Ia masih ingat akan senyum
indah seindah bulan merekah keemasan dimalam hari, ia masih ingat akan gelap
hitam bola mata dari sebalik optik yang memagarinya, seindah kilapan mutiara
hitam. Ia masih mengingat jelas kilau hitam rambut gadis itu ketika ia
memperhatikannya ketika perlahan menghilang dari tatapan. Wajah gadis itu,
baginya amat lekat dalam lensa matanya, terekam jelas dalam benaknya, akan amat
sulit bagi Adi melupakan wajah gadis itu, indah senyumnya, kilau dua bola
matanya, amat susah untuk dilupakan. Sembari mengagumi keindahan, Adi pun
diliputi keheranan akan siapa agaknya gadis itu. Seingatnya, tak pernah ia
kenal dengan perempuan itu sebelumnya, pun demikian, perempuan itu tahu
namanya. Semakin Adi mengingat, semakin ia tidak menemukan jawaban. Teman SD?
Entahlah, rasanya bukan. Teman SMP? Ia ragu, ia tak banyak bergaul, jadi dia
akan tahu siapa saja orang yang kenal dengannya. Ia masih bingung dan juga
penasaran.
Hujan tetap keras, hingga larut. Pikiran-pikiran yang
muncul dalam benak Adi akan anak gadis tadi pagi berakhir dengan rasa penasaran
yang amat sangat.
...
Di lain tempat, ketika hujan masih begitu lebatnya
tampaklah sebuah sepeda motor terparkir pada sebuah kedai kaki lima yang
menjual gorengan di tepi jalan.
Sepeda motor Ninja berbadan hitam yang tak lain adalah milik Adri semakin
mengkilat akibat air hujan serta kerlap-kerlip lampu jalanan. Adri yang
terlambat pulang ketika hujan terpaksa ‘berteduh’ di kedai gorengan. Meski terpaksa, gorengan-gorengan
itu dapat juga menghangatkan ketika dingin mengaliri udara malam. Sehabis
mengunjungi Red Stars di Rumah Sakit, Adri sibuk dengan berbagai urusannya
sehingga pulang malam adalah kebiasaan baginya. Dan malam ini, hanyalah malam
kesekian kalinya ia pulang malam.
...
Jarum jam menunjukkan tepat di angka 10:00 WIB. Erika
telah terlelap dalam mimpinya. Setelah mengerjakan beberapa PR, lelah karena
menghabiskan sore bersama Adi dan Andra di pantai membuatnya cepat melelapkan
diri.
Ketika hujan masih lebat dan malam masih belum larut,
Andra bersama ayah dan ibunya tengah santap malam bersama. Tak banya
perbincangan saat itu. Sehabis makan, Pak Anis ayah Andra menyibukkan diri
dengan berita di televisi, acara malam yang selalu ia lihat setiap malamnya.
Sedangkan ibunya Andra, Bu Melisa atau yang akrab disapa Bu Mel telah sibuk
mengerjakan berbagai hal. Di lain sisi, Andra tengah asik menghitung tabungan
yang ia miliki. Ia menghitung-hitung jumlah tabungannya melalui kalender. Andra
telah mulai menabung sejak SMP untuk membeli sebuah sepeda motor, karenanya ia
banyak ikut kerja sambilan sejak SMP seraya mengerjakan berbagai pekerjaan yang
bisa menghasilkan rupiah selagi halal. Bagi Andra, keinginan untuk membeli
sepeda motor dengan meminta kepada orang tuanya adala bentuk betapa ia tidak
menghargai keadaan ekonomi keluarganya yang berada pada level menengah ke
bawah. Ibu Mel, sehari-harinya berjualan sayur dan kue-kue ke pasar. Sedangkan
Pak Anis adalah seorang supir angkutan umum antar kota dalam provinsi. Andra
sedari kecil telah belajar mandiri, ia telah terbiasa pergi berjualan atau
bekerja di kedai-kedai. Ia selalu membawa bekal ke sekolah, ini sempat membuat
Adi terkejut, Erika juga sama terkejutnya, namun akhirnya Erika pun telah
ikut-ikutan membawa bekal dan Adi sesekali. Mereka bertiga makan bersama di
“Surga Kami”. Andra menyisihkan uang jajannya untuk di tabung, jika liburan
tiba, ia mencari apa-apa yang bisa dikerjakan. Untuk keinginannya ini, ia amat
keras dalam berusaha. Karena sering bekerja dan melakukan banyak hal, Andra
menjadi orang yang amat mudah bergaul, setidaknya ia hampir mengenal semua
penduduk di Pasar, termasuk orang tua Adi yang juga memiliki sebuah toko di
pasar. Ini juga lah alasan Andra banyak tahu seluk beluk “Kota Ini”.
“Bu, tinggal sedikit lagi, bisa beli motor”. Andra
memberitahukan hitung-hitungan tabungannya kepada ibunya dengan amat gembira.
Wajahnya dipenuhi guratan senyum. Ibu Mel yang melihat kebahagian terpancar
dari wajah anak semata wayangnya, amat merasa bahagia pula. Putra satu-satunya
itu telah bisa menjadi anak yang mandiri, telah mampu memahami keadaan
keluarga. Kebahagiaan Andra menghapus perasaan sedih Bu Mel yang kadang-kadang
timbul ketika melihat anaknya mesti bekerja dan berusaha untuk memperoleh uang.
Ia tak ingin menyalahkan takdir akan keadaan keluarga, baginya berusaha dan
terus berusaha jauh lebih baik ketimbang memikirkan keadaan yang tak sama
dengan keadaan orang-orang dengan ekonomi berlebih. Ibu Mel senang dan bangga
ketika anaknya dengan usia yang masih amat muda telah mampu berpikir dengan
lebih dewasa. Baginya, keadaan yang sulit telah membuat Andra menjadi sosok
yang mandiri dan mampu berpikir dewasa. Memang selalu ada hal-hal baik yang
dapat dipetik dari hal-hal sulit.
“Syukurlah kalau begitu, jika sudah bisa membeli sepeda
motor, jangan berhenti menabungnya”.
“Itu pasti, bu”. “Sudah malam, Andra tidur lagi bu”
“Iya, tidurlah, besok mesti bangun pagi”
“Iya bu, selamat malam”
“Malam juga, nak”
Setelahnya Andra beranjak ke kamarnya. Suasana rumah itu
penuh haru saat itu. Hujan juga masih belum reda.
...
Tak terasa, semester satu hampir berakhir. Ujian sekolah
telah mendekati. Bagi anak-anak kelas satu, tentu ini ujian perdana bagi
mereka. Saat itu, baik Adi, Andra, Erika, Adri maupun siswa kelas satu sedang
sibuk-sibuknya dengan beraneka tugas dan PR. Kenampakan umum menjelang ujian,
tugas menumpuk. Kesibukan terhadap tugas-tugas membuat Adi, Andra dan Erika
yang tidak sekelas jadi jarang berkomunikasi. “Surga Kami” pun jadi jarang ada
yang mengunjungi, hanya Adri yang sering tidur disana. Adri, meski sibuk sekali
suasana belajar, ia tetap mampu mengerjakan tugas dan PR-nya dengan tetap
bersantai-santai. Nilai-nilainya pun tergolong memuaskan.
Seminggu menjelang ujian, Adri ditantang oleh Anwar Faisal
untuk duel. Anwar Faisal dan seluruh anggota Red Stars telah pulih. Tantangan
Anwar kepada Adri kali ini sedikit berbeda, Anwar menantang Adri secara
personal. Entah apa yang telah terjadi, Adri yang merasa heran dengan tindakan
Anwar tidak bisa menerima tantangan itu. Ia beralasan, jika pertarungan
dilakukan saat ini, maka dikhawatirkan siapa yang terluka akan masuk rumah
sakit dan tidak bisa mengikuti ujian, itu tidak menguntungkan.
“Aku menolaknya senior!!!”. “Siapapun yang kalah akan
sulit buat ikut ujian, itu tidak bagus”.
“Siapa yang peduli dengan itu semua, bocah?”. “Aku ingin
bertarung sekarang atau tidak sama sekali, dan kau jadi saja pengecut!!!”
“Terserah kau mau menilaiku senior, tapi bagi seorang
pelajar, sekolah itu penting, setidaknya ujian itu penting bagi kita dan aku
nggak akan mengorbankannya demi emosi”.
Anwar tetap tidak menerima, namun untuknya yang sering
bolos, ujian memang menjadi satu-satunya jalan untuk bisa naik kelas. Dendam
dan emosinya memaksanya untuk tetap menantang Adri. Sedangkan otaknya,
memaksanya untuk mencari hari lain. Anwar diliputi rasa kesal pada diri
sendiri. Ia yang terbiasa berkelahi bersama-sama Red Stars kini sedang mencoba
menantang orang sendirian. Dan percobaan pertama tampaknya tidaklah mulus.
“Baiklah, segera setelah ujian ini selesai, kita
selesaikan urusan kita! Hanya kau dan aku!”
Dengan menahan amarah, Anwar berlalu meninggalkan Adri. Adri justru menatap senang dengan hal ini.
Akan lebih mudah mengalahkan satu orang ketimbang melawan lima orang, bukan,
tapi enam orang Red Stars.
...
“Sebentar lagi kamu ujian kan Di?” Malam itu Adi tampak
sibuk dengan game PS 1-nya. Ibu yang sedikit khawatir karena menjelang ujian,
Adi pun tetap sibuk dengan PS-nya. Adi yang tetap fokus pada layar TV
dikamarnya hanya mengiyakan saja. Mata dan kepalanya tidak bergerak kearah ibu.
Sebenarnya ibu maklum sekali kalau Adi selalu bermain game ketika akan ujian.
Sejak SMP, ketika ia mengenal PS atau Play Station pertama kali oleh ayahnya,
ia telah banyak menghabiskan waktu dengan game ketika dirumah. Semakin dekat
waktu ujian semakin sering pula ia main game.
“Ini ujian pertama mu di SMA loh? Apa kamu tidak khawatir,
Di?”
Adi mem-pause-kan gamenya, kemudian meletakkan stick PS.
“Tenang saja bu, ujian tetap ujian, tidak ada bedanya SMP
maupun SMA”. Adi menjawab dengan pasti. Kemudian ia melanjutkan kembali
mainnya.
“Hemmm, baguslah kalau kamu tetap yakin begitu”. “Ibu
pikir kamu semakin stess karena mau ujian, ternyata tidak”. Ibu juga
mengomentari dengan semangat.
“Baiklah, sudah malam, jangan terlalu malam mainnya, nanti
susah bangun”.
“Oke bu”. Adi menjawab sembari mengacungkan jempolnya,
dengan tetap tidak menoleh. Dan ibu telah beranjak menuju kamar tidurnya.
Adi Satryo, tinggal hanya dengan ibunya saja dengan sebuah
rumah sederhana tingkat dua. Dulu rumah ini amat ramai, namun kini hanya ada
Adi dan ibu-nya, Ibu Ruyana, Bu An, demikianlah orang-orang di pasar
mengenalnya. Punya sebuah toko grosir di pasar, sebagai usaha untuk menghidupi
keluarga kecilnya. Setiap harinya Bu An bolak balik dari rumah ke pasar, pasar
ke rumah. Adi pun terkadang pergi ke pasar jika malas pulang ke rumah. Ketika
SMP, Adi lebih sering pulang ke toko karena sekolahnya dekat dengan toko dan
bersama-bersama pulang dengan ibu ke rumah sore harinya. Ketika SMA, Adi jarang
ke toko, kesibukan sekolah membuatnya lebih sering pulang kerumah.
...
Erika yang sibuk dengan tugas dan PR-PR-nya sedang tidak
bisa bersantai. Erika yang paling sibuk menghadapi ujian kali ini. Tugas-tugas
yang melimpah membuatnya mesti berkutat dengan buku. Ibu Elita yang melihat
putri-nya jarang keluar kamar menjadi sibuk mesti mengingatkan Eri untuk makan.
Eri sampai-sampai lupa makan karena tugas-tugasnya. Pak Mochtar justeru
menyemangati putri satu-satunya itu ketika ia pulang dari tempat usahanya.
Sebagai seorang pengusaha, Pak Mochtar selalu pulang malam. Melihat putrinya
yang tengah sibuk, timbul pula keinginannya untuk memberi semangat. Sudah dua
hari ini Pak Mochtar selalu pulang dengan beraneka makanan untuk putrinya. Hal
ini membuat kakak-kakak Eri sedikit cemburu.
“Papi kok cuma beli buat Ery? Buat Irina mana?”
“Iya nih, Papi cuma sayang sama Ery nih” begitulah
kakak-kakak Erika menggoda papi-nya. Arigo Putra Zamrud, kakak tertua Erika,
saat ini tengah sibuk dengan tugas akhir kuliahnya. Kebetulan ia melakukan
penelitian di “Kota Ini” sehingga ia bisa berada lebih sering di rumah.
Sedangkan Irina Putri Zamrud, kakak Erika sekaligus anak kedua merupakan siswi
kelas tiga SMA di kota ini juga. Nasibnya Irina lebih baik, otaknya yang encer
membuatnya sekolah disalah satu sekolah unggulan di “Kota Ini”, SMA Negeri 2.
“Ah kalian ini, kalian kan sudah sering Papi kasih
makanan, yang lebih tua ngalah aja ya, papi mau manja-in putri kecil papa
dulu”.
“Haha, si Papi gitu”.
Ibu Elita Levyrin hanya bisa tertawa melihat candaan suami
dan anak-anaknya. Keluarga yang bahagia dan diliputi dengan suasana yang ceria.
...
Andra dan Adri yang terbilang santai menjelang ujian sibuk
dengan urusannya masing-masing. Andra tengah pamit ijin mengambil cuti selama
seminggu dari tempat ia biasa bekerja. Ketika akan keluar toko, ia bertemu Adri.
Malam itu Adri ingin belanja.
“He hei, Ad ... ri”. Sapa Andra dengan ragu dan terbata
“Oh kau, apa kabar”. Dengan ekspresi biasa Adri menanggapi
Andra. Adri sejenak berhenti, hendak mengobrol dengan Andra.
“Kau tidak belanja?”
“Nggak Dri”
“Oh, jadi kau ngapain disini?”
“Baru selesai kerja”. Jawab Andra singkat
“Kau kerja? Adri mengerinyitkan dahinya tak percaya.
“Iya”. Kali ini Andra menjawab dengan bangga.
“Aku pulang dulu kalau begitu Dri, sudah malam, nanti
kehabisan kendaraan”. Untuk pertama kalinya Andra berani bicara dengan tegap
kepada Adri. Sedangkan Adri, ia masih tak percaya. Meski begitu ia tetap
melanjutkan belanjanya.
Di rumah. Adri merebus mi goreng yang tadi ia beli. Rumah
masih sepi. Rumah mewah dua tingkat itu amat lengang. Papa dan Mama Adri masih
belum kembali dari bekerja. Hanya ada Adri dan nenek di rumah. Papa Adri, Pak Bimantara
Adrian adalah seorang pengusaha besar, membuatnya sibuk dengan pekerjaannya,
jarang pulang. Adapun ibu Adri,yaitu Bu Ratna Anita adalah seorang wanita
karier yang telah sukses hingga keluar negeri, bolak balik luar negeri, tapi
jarang bolak balik ke rumah. Jadilah Adri hanya akrab dengan neneknya yang
masih terlihat muda di usia 66 tahun. Nek Nurhayati, memilih menikah muda,
karenanya, meski cucunya telah besar, ia masih belum terlalu tua. Dari
penampilan, terlihat lebih muda dari usianya, rajin olah raga, memakan makanan
yang sehat, yang kadang Adri sendiri tidak mau memakannya. Sebagai seorang ibu
dari anak-anak yang berhasil, beliau menikmati hari tua dengan bahagia, hanya
kesusahan hatinya adalah kemurungan cucu satu-satunya di rumah ini, yaitu Adri.
Adri terlahir dari keluarga yang berada. Kelahiran yang
dinantikan sebagai generasi penerus usaha kelaurga. Namun, sekian tahun ketika
Adri di rasa mampu tinggal sendiri, dia yang kelahirannya ditunggu-tunggu kini
seakan terabaikan. Kesibukan Papa dan Mama-nya membuat Adri kehilangan
senyum-nya sejak ia mulai mengenal sekolah dasar. Hanya nenek yang tetap
disampingnya, meski begitu, rasa kosong itu tidak sepenuhnya terisi. Adri lebih
memilih menghabiskan waktunya diluar, bersama teman-teman. Baginya rumah tidak
lebih menyenangkan ketimbang di luar bersama teman-teman, lagi pula Adri tak
membeda-bedakan dalam berteman. Namun, kebanyakan teman-temannya pada akhirnya
adalah anak-anak nakal. Teman-teman Adri yang tak suka berkelahi satu persatu
meninggalkannya ketika ia semakin punya banyak teman dari anak-anak nakal. Masa
SD dan SMPnya mulai diwarnai dengan perkelahian, meski begitu, ia tetap tak
suka dengan tawuran. Ia lebih suka perkelahian satu lawan satu dengan tangan
kosong, itu adalah sosok laki-laki sejati dalam pikiran Adri, dan ia terobsesi
dengan identitas laki-laki sejati.
Perkenalannya dengan Hamdan adalah salah satu bentuk
pertemuan dua laki-laki yang ingin menjadi laki-laki sejati. Hamdan tak pernah
menang dari Adri, dan ia kagum akan jiwa Adri. Adri pun kagum dengan jiwa
Hamdan. Meski awalnya berteman dengan banyak anak-anak nakal, namun
lama-kelamaan akan terlihat mana yang pantas dianggap sebagai kawan perjuangan,
mana yang tidak. Dari sekian banyak yang datang dan pergi, Hamdanlah yang
paling akrab dengan Adri. Sikap Adri yang berbeda dari kebanyakan anak nakal
lainnya membuat ia diasingkan dan lebih memilih untuk sendirian. Meski
sendirian, Adri adalah orang yang ditakuti di dunia hitam kota, namanya membuat
gentar. Namun juga mengundang penantang.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar