Counting Stars
Adri berlarian
menuju bangku tempat ia duduk, menunduk dan bersembunyi. Ia tampak menghindari
sesuatu. “Kalau ada yang nyari aku, bilang aku gak ada” pinta Adri. Adi yang
heran cuek saja. Adi malah melangkahkan kakinya ke luar kelas, perutnya lapar
dan harus segera di isi. “Bilang saja pada yang lain, aku mau keluar”. “Kau mau
kemana? Mau ke tempat itu?” tanya Adri. “Nggak, mau ke warung, nggak ada janji
ke sana hari ini”. “Yaaaah”. Adri ber”yah” panjang. Ia tetap menunduk dan
bersembunyi entah dari apa dan siapa. “Hei Ketua Kelas, nanti kalau ada yang
mencariku, bilang aku tak ada”. Adri masih melanjutkan permintaannya. Ketua
Kelas X.I, Amran melirik Adri, sesaat kemudian ia melenguh panjang, “Iyaaaaa”
jawabnya malas.
Dalam
perjalanan menuju warung makan, Adi melewati kelas X.5. Saat tengah
mengencangkan kecepatannya, terdengar suara perempuan memanggil, suara yang tak
asing. “Hai Adi” suara lembut dari gadis manis berkacamata yang menyapanya
tempo hari. Gadis itu berdiri tepat didepan pintu kelas X.5, ia tersenyum manis
dan penuh kehangatan kepada Adi. Dan Adi, saat itu hampir mati berdiri jika
saja gadis itu tak memalingkan wajahnya saat itu. Perasaan aneh dan debar-debar
itu terasa lagi pada Adi. “Aya, kita ke perpus yuk” sahut suara perempuan yang
muncul dari dalam kelas. Perempuan itu cukup manis, meski tak semanis gadis
berkacamata yang menyapa Adi. “Ah iya, ayo Nina”. Balas gadis berkacamata itu.
“Adi, aku duluan ya” ucap gadis berkacamata itu sambil berlalu dan meninggalkan
senyumnya yang amat manis. Adi hanya membalas dengan senyuman, senyum yang
kacau balau dan debar-debar yang tak beraturan. Senyum gadis itu masih
tertinggal dipikiran Adi meski gadis itu telah tak lagi terlihat. “Manis sekali
gadis itu kan?” tiba-tiba suara Andra muncul begitu saja, entah darimana?
Adi yang salah
tingkah jadi kehilangan senyum indah itu oleh kehadiran Andra. “Hahaha,
ketahuan kau Di, kau telah memulai sebuah perjalanan cinta yang panjang dengan
gadis itu”. Tatap Andra tajam. “Sok tahu kau Ndra, tadi itu tak sengaja ketemu,
lagipula aku masih tak tahu apa-apa tentangnya”. Mendengar itu Andra jadi ingat
akan sesuatu yang hampir ia lupakan dalam beberapa minggu ini. “Oh iya Di, aku
baru ingat, aku akan ceritakan padamu semua tentang gadis manis tadi”. “Oh”.
Jawab Adi singkat dan penuh ketidaktertarikan, meski sebenarnya tidak begitu.
“Aku serius lo, tapi traktir aku makan ya, hehhe” dan mereka terus berjalan
menuju warung.
***
Di sebuah
kedai yang cukup jauh dari sekolah, tampak dua orang siswa lawas bertemu,
bertemu tanpa sengaja tepatnya. “Jauh juga tempat makanmu sekarang War” ucap
suara itu yang melihat Anwar Faisal tengah melahap makanannya. “Ngapain orang
yang sudah tidak bisa apa-apa lagi di sekolah kemari, sudah bosan sekolah?”
sahut Anwar kesal. “Hahaha, selera humormu tetap saja buruk War”. “Aku dengar
lo kabar soal kau dan Redstar kena hajar ulah anak kelas satu, hahhaha” balas
Arainan. “Jangan rusak nafsu makanku deh, jangan habiskan jatah peringatanku
hanya karena menghajarmu Nan”. “Hahaha, kau masih tetap emosional saja, aku
hanya ingin duduk-duduk dan bercerita saja denganmu”. “Kalau tentang
pacar-pacarmu, sebaiknya enyah saja kau Nan”. “Bukan, ini soal anak-anak baru
yang menyebalkan”. “Hmmm??? Kau juga kena ya Nan? Ahaha, si kribo ini kena
juga” dan pecahlah tawa Anwar dan Arainan waktu itu.
***
“Jadi namanya
Cahya Rona dan ia siswa pindahan dari kota lain sewaktu kelas tiga SMP?”. Ucap
Adi. “Iya Di, dia primadona SMP 3 sejak saat itu, tapi sampai saat ini ia masih
tetap sendiri tanpa pasangan” jawab Andra. “Pasti info-mu Ndra?”. “Pastilah
Di”. Adi mengangguk-angguk saja, yang menjadi pertanyaannya kenapa gadis itu
kenal dengannya masih belum juga terjawab, bahkan oleh Andra. “Aku masih belum
tahu Di kenapa dia bisa kenal denganmu, awalnya aku pikir kau se SMP dengannya,
ternyata tidak”. Adi memang tak banyak bergaul saat SMP selain karena selama
SMP sering pindah-pindah sekolah karena berbagai alasan, ia tak pernah sekolah
di SMP 3. SMP terakhir tempatnya lulus adalah SMP 13 yang terletak di
perbatasan kota serta batas provinsi dengan provinsi sebelah. SMA 4 sendiri
terletak jauh dari perbatasan dengan jarak tempuh satu setengah jam perjalanan
dengan mobil. Setidaknya saat ini Adi belum ada tanda akan pindah lagi setelah
terakhir pindah ke daerah pertengahan ini setelah tamat SMP lalu. “Ini misteri
yang harus aku pecahkan!” sahut Andra penuh percaya diri. “Udah ah, balik ke
kelas yuk, nggak penting” ujar Adi sambil bergegas ke kelas setelah membayar
makanannya. “Tunggu oi”. Andra bergegas menyusul. “Ngomong aja nggak penting,
dalam hati senang tuh karena udah tahu siapa namanya” gerutu Andra sambil
berlari menyusul Adi.
***
“Bagaimana
Ran? Kau mau kan duel dengan ku sore ini?” Tantangan Baron waktu itu masih
mengganggu pikiran Randi. Ia sudah lama tidak berkelahi, kelas dua SMP adalah
terakhir kali Randi berkelahi, saat ia dan geng-nya dikalahkan. Randi masih
mencari-cari cara untuk menghindari perkelahian itu. Waktu itu jam pulang
sekolah tinggal setengah jam lagi, Baron menanti dengan was-was. Tantangan yang
ia layangkan pada Randi masih belum beroleh kata pasti. “Aku tidak tertarik,
lagi pula seharusnya Adri yang mestinya kau lawan, bukan aku”. Demikian jawaban
Randi waktu ia menolak. Tapi Baron tetap ingin menantang Randi, soal Adri, ia tak
ingin melangkahi Anwar yang sudah lebih dahulu ingin membalas dendam dengan
Adri. Tiga puluh menit yang terasa amat
panjang untuk Baron dan terasa singkat bagi Randi.
Lain tempat.
Arainan dan Anwar justru sedang memikirkan strategi untuk melampiaskan kekesalannya
terhadap anak-anak kelas satu yang bandel. “Jadi War, target kau anak kelas
satu yang bernama Adri itu? Kalau aku, bocah yang rambutnya runcing-runcing
itu, dia sudah tidak sopan dengan seniornya, dia harus diajari sopan santun!”
Arainan amat gemas saat itu, ia benar-benar tak lagi sanggup menahan diri. “Kau
ini, kalau sekali lagi bikin masalah di sekolah, kau bisa dikeluarkan, sudah
bosan sekolah?” balas Anwar. “Aku akan melakukannya di luar sekolah, cepat atau
lambat!”. Anwar sepakat dengan Arainan saat itu. Tekad dalam hatinya untuk
balas dendam telah memuncak, lagipula kondisinya kini telah benar-benar fit
karena lebih satu bulan ia kesulitan mencari Adri yang seakan hilang. “Nan, kau
bantu aku mencari bocah itu, dia selalu lolos dari mata ku!”. “Pasti!”. Dan
kedua senior SMA 4 memulai pergerakannya.
***
Suasana pulang
amat riuh, seperti pasar. Adi masih menanti angkutan umum. Ia ingin ke pasar,
ke toko ibunya. Karena malas untuk pulang ke rumah, sepulang sekolah Adi
memutuskan untuk langsung ke pasar. “Adi, kebetulan banget” Eri sangat senang
saat itu, matanya berbinar-binar, senyumnya memancar. “Kenapa Ri?”. Dengan
senyum penuh kejahilan, Eri mulai merayu-rayu Adi “Aku mau ke toko buku Di,
tapi nggak ada yang nemenin, si Andra udah kabur, si Adri gak keliatan dari
tadi, temenin ke toko buku yaaa” sambil dengan gaya memohon manja Eri memaksa
Adi. Adi yang salah tingkah dan serba salah tak tahu bagaimana hendak menolak.
Dan tak lama Adi telah naik angkutan umum bersama Eri menuju toko buku, dengan
penuh keterpaksaan.
***
Baron dengan
setia menanti Randi di gerbang sekolah. Setelah amat lama menanti, Randi
berjalan keluar melewati gerbang, tidak sendirian, ia berjalan bersama dengan
seorang gadis. Mereka terus saja berjalan tanpa peduli dengan sekelilingnya,
termasuk Baron. Baron yang merasa diabaikan mengikuti dari belakang, sesekali
ia berdehem, “Ehem ehem”, tapi Randi cuek saja. Cukup ampuh memang, Baron tak
bisa berbuat banyak. Randi tahu jika Baron adalah seorang lelaki yang tidak
suka mengganggu perempuan. Meski begitu, karena kesal, Baron yang sedari tadi
mengikuti Randi menendang pantat Randi hingga Randi tersungkur. Bisa kau
bayangkan bukan bagaimana rasanya tersungkur saat kau sedang berjalan berdua
dengan wanita? Dan saat itu cukup ramai. Ini bukan soal rasa sakit, tapi lebih
ke malu. Emosi Randi naik, ia menoleh ke belakang, dan Baron telah jauh
berlari, sambil mengejek-ngejek Randi dari jauh. Ingin Randi mengejar Baron,
tapi ia telah lebih dahulu di tahan oleh Lara, gadis yang bersamanya. Wajah
Randi saat itu memerah, iya memerah karena masih terbayang olehnya saat jatuh
tersungkur tadi, saat ia asyik bercerita dengan Lara, tiba-tiba ia tersungkur,
di tengah keramaian. Randi jadi salah tingkah, tapi hatinya penuh amarah : ku
hajar kau Baron!
***