Counting Stars
Adri berlarian
menuju bangku tempat ia duduk, menunduk dan bersembunyi. Ia tampak menghindari
sesuatu. “Kalau ada yang nyari aku, bilang aku gak ada” pinta Adri. Adi yang
heran cuek saja. Adi malah melangkahkan kakinya ke luar kelas, perutnya lapar
dan harus segera di isi. “Bilang saja pada yang lain, aku mau keluar”. “Kau mau
kemana? Mau ke tempat itu?” tanya Adri. “Nggak, mau ke warung, nggak ada janji
ke sana hari ini”. “Yaaaah”. Adri ber”yah” panjang. Ia tetap menunduk dan
bersembunyi entah dari apa dan siapa. “Hei Ketua Kelas, nanti kalau ada yang
mencariku, bilang aku tak ada”. Adri masih melanjutkan permintaannya. Ketua
Kelas X.I, Amran melirik Adri, sesaat kemudian ia melenguh panjang, “Iyaaaaa”
jawabnya malas.
Dalam
perjalanan menuju warung makan, Adi melewati kelas X.5. Saat tengah
mengencangkan kecepatannya, terdengar suara perempuan memanggil, suara yang tak
asing. “Hai Adi” suara lembut dari gadis manis berkacamata yang menyapanya
tempo hari. Gadis itu berdiri tepat didepan pintu kelas X.5, ia tersenyum manis
dan penuh kehangatan kepada Adi. Dan Adi, saat itu hampir mati berdiri jika
saja gadis itu tak memalingkan wajahnya saat itu. Perasaan aneh dan debar-debar
itu terasa lagi pada Adi. “Aya, kita ke perpus yuk” sahut suara perempuan yang
muncul dari dalam kelas. Perempuan itu cukup manis, meski tak semanis gadis
berkacamata yang menyapa Adi. “Ah iya, ayo Nina”. Balas gadis berkacamata itu.
“Adi, aku duluan ya” ucap gadis berkacamata itu sambil berlalu dan meninggalkan
senyumnya yang amat manis. Adi hanya membalas dengan senyuman, senyum yang
kacau balau dan debar-debar yang tak beraturan. Senyum gadis itu masih
tertinggal dipikiran Adi meski gadis itu telah tak lagi terlihat. “Manis sekali
gadis itu kan?” tiba-tiba suara Andra muncul begitu saja, entah darimana?
Adi yang salah
tingkah jadi kehilangan senyum indah itu oleh kehadiran Andra. “Hahaha,
ketahuan kau Di, kau telah memulai sebuah perjalanan cinta yang panjang dengan
gadis itu”. Tatap Andra tajam. “Sok tahu kau Ndra, tadi itu tak sengaja ketemu,
lagipula aku masih tak tahu apa-apa tentangnya”. Mendengar itu Andra jadi ingat
akan sesuatu yang hampir ia lupakan dalam beberapa minggu ini. “Oh iya Di, aku
baru ingat, aku akan ceritakan padamu semua tentang gadis manis tadi”. “Oh”.
Jawab Adi singkat dan penuh ketidaktertarikan, meski sebenarnya tidak begitu.
“Aku serius lo, tapi traktir aku makan ya, hehhe” dan mereka terus berjalan
menuju warung.
***
Di sebuah
kedai yang cukup jauh dari sekolah, tampak dua orang siswa lawas bertemu,
bertemu tanpa sengaja tepatnya. “Jauh juga tempat makanmu sekarang War” ucap
suara itu yang melihat Anwar Faisal tengah melahap makanannya. “Ngapain orang
yang sudah tidak bisa apa-apa lagi di sekolah kemari, sudah bosan sekolah?”
sahut Anwar kesal. “Hahaha, selera humormu tetap saja buruk War”. “Aku dengar
lo kabar soal kau dan Redstar kena hajar ulah anak kelas satu, hahhaha” balas
Arainan. “Jangan rusak nafsu makanku deh, jangan habiskan jatah peringatanku
hanya karena menghajarmu Nan”. “Hahaha, kau masih tetap emosional saja, aku
hanya ingin duduk-duduk dan bercerita saja denganmu”. “Kalau tentang
pacar-pacarmu, sebaiknya enyah saja kau Nan”. “Bukan, ini soal anak-anak baru
yang menyebalkan”. “Hmmm??? Kau juga kena ya Nan? Ahaha, si kribo ini kena
juga” dan pecahlah tawa Anwar dan Arainan waktu itu.
***
“Jadi namanya
Cahya Rona dan ia siswa pindahan dari kota lain sewaktu kelas tiga SMP?”. Ucap
Adi. “Iya Di, dia primadona SMP 3 sejak saat itu, tapi sampai saat ini ia masih
tetap sendiri tanpa pasangan” jawab Andra. “Pasti info-mu Ndra?”. “Pastilah
Di”. Adi mengangguk-angguk saja, yang menjadi pertanyaannya kenapa gadis itu
kenal dengannya masih belum juga terjawab, bahkan oleh Andra. “Aku masih belum
tahu Di kenapa dia bisa kenal denganmu, awalnya aku pikir kau se SMP dengannya,
ternyata tidak”. Adi memang tak banyak bergaul saat SMP selain karena selama
SMP sering pindah-pindah sekolah karena berbagai alasan, ia tak pernah sekolah
di SMP 3. SMP terakhir tempatnya lulus adalah SMP 13 yang terletak di
perbatasan kota serta batas provinsi dengan provinsi sebelah. SMA 4 sendiri
terletak jauh dari perbatasan dengan jarak tempuh satu setengah jam perjalanan
dengan mobil. Setidaknya saat ini Adi belum ada tanda akan pindah lagi setelah
terakhir pindah ke daerah pertengahan ini setelah tamat SMP lalu. “Ini misteri
yang harus aku pecahkan!” sahut Andra penuh percaya diri. “Udah ah, balik ke
kelas yuk, nggak penting” ujar Adi sambil bergegas ke kelas setelah membayar
makanannya. “Tunggu oi”. Andra bergegas menyusul. “Ngomong aja nggak penting,
dalam hati senang tuh karena udah tahu siapa namanya” gerutu Andra sambil
berlari menyusul Adi.
***
“Bagaimana
Ran? Kau mau kan duel dengan ku sore ini?” Tantangan Baron waktu itu masih
mengganggu pikiran Randi. Ia sudah lama tidak berkelahi, kelas dua SMP adalah
terakhir kali Randi berkelahi, saat ia dan geng-nya dikalahkan. Randi masih
mencari-cari cara untuk menghindari perkelahian itu. Waktu itu jam pulang
sekolah tinggal setengah jam lagi, Baron menanti dengan was-was. Tantangan yang
ia layangkan pada Randi masih belum beroleh kata pasti. “Aku tidak tertarik,
lagi pula seharusnya Adri yang mestinya kau lawan, bukan aku”. Demikian jawaban
Randi waktu ia menolak. Tapi Baron tetap ingin menantang Randi, soal Adri, ia tak
ingin melangkahi Anwar yang sudah lebih dahulu ingin membalas dendam dengan
Adri. Tiga puluh menit yang terasa amat
panjang untuk Baron dan terasa singkat bagi Randi.
Lain tempat.
Arainan dan Anwar justru sedang memikirkan strategi untuk melampiaskan kekesalannya
terhadap anak-anak kelas satu yang bandel. “Jadi War, target kau anak kelas
satu yang bernama Adri itu? Kalau aku, bocah yang rambutnya runcing-runcing
itu, dia sudah tidak sopan dengan seniornya, dia harus diajari sopan santun!”
Arainan amat gemas saat itu, ia benar-benar tak lagi sanggup menahan diri. “Kau
ini, kalau sekali lagi bikin masalah di sekolah, kau bisa dikeluarkan, sudah
bosan sekolah?” balas Anwar. “Aku akan melakukannya di luar sekolah, cepat atau
lambat!”. Anwar sepakat dengan Arainan saat itu. Tekad dalam hatinya untuk
balas dendam telah memuncak, lagipula kondisinya kini telah benar-benar fit
karena lebih satu bulan ia kesulitan mencari Adri yang seakan hilang. “Nan, kau
bantu aku mencari bocah itu, dia selalu lolos dari mata ku!”. “Pasti!”. Dan
kedua senior SMA 4 memulai pergerakannya.
***
Suasana pulang
amat riuh, seperti pasar. Adi masih menanti angkutan umum. Ia ingin ke pasar,
ke toko ibunya. Karena malas untuk pulang ke rumah, sepulang sekolah Adi
memutuskan untuk langsung ke pasar. “Adi, kebetulan banget” Eri sangat senang
saat itu, matanya berbinar-binar, senyumnya memancar. “Kenapa Ri?”. Dengan
senyum penuh kejahilan, Eri mulai merayu-rayu Adi “Aku mau ke toko buku Di,
tapi nggak ada yang nemenin, si Andra udah kabur, si Adri gak keliatan dari
tadi, temenin ke toko buku yaaa” sambil dengan gaya memohon manja Eri memaksa
Adi. Adi yang salah tingkah dan serba salah tak tahu bagaimana hendak menolak.
Dan tak lama Adi telah naik angkutan umum bersama Eri menuju toko buku, dengan
penuh keterpaksaan.
***
Baron dengan
setia menanti Randi di gerbang sekolah. Setelah amat lama menanti, Randi
berjalan keluar melewati gerbang, tidak sendirian, ia berjalan bersama dengan
seorang gadis. Mereka terus saja berjalan tanpa peduli dengan sekelilingnya,
termasuk Baron. Baron yang merasa diabaikan mengikuti dari belakang, sesekali
ia berdehem, “Ehem ehem”, tapi Randi cuek saja. Cukup ampuh memang, Baron tak
bisa berbuat banyak. Randi tahu jika Baron adalah seorang lelaki yang tidak
suka mengganggu perempuan. Meski begitu, karena kesal, Baron yang sedari tadi
mengikuti Randi menendang pantat Randi hingga Randi tersungkur. Bisa kau
bayangkan bukan bagaimana rasanya tersungkur saat kau sedang berjalan berdua
dengan wanita? Dan saat itu cukup ramai. Ini bukan soal rasa sakit, tapi lebih
ke malu. Emosi Randi naik, ia menoleh ke belakang, dan Baron telah jauh
berlari, sambil mengejek-ngejek Randi dari jauh. Ingin Randi mengejar Baron,
tapi ia telah lebih dahulu di tahan oleh Lara, gadis yang bersamanya. Wajah
Randi saat itu memerah, iya memerah karena masih terbayang olehnya saat jatuh
tersungkur tadi, saat ia asyik bercerita dengan Lara, tiba-tiba ia tersungkur,
di tengah keramaian. Randi jadi salah tingkah, tapi hatinya penuh amarah : ku
hajar kau Baron!
***
Siang
menjelang sore itu Adi telah selesai menemani Eri membeli beberapa buku. Adi
yang tak punya rencana membeli buku, tak sengaja tergoda membeli beberapa komik
yang amat menarik. Dan Eri membeli beberapa buku novel remaja, biasa, novel
cinta. Eri yang kembali merengek untuk ditemani makan membuat Adi kembali harus
menemaninya. Ketika dalam perjalanan menuju tempat makan, mereka melewati
jalanan yang cukup sepi. Tiba-tiba muncul dua orang siswa SMA, dengan pakaian
yang dengan hanya melihat kita bisa paham bahwa, tak aman jika ada mereka. Dan
benar saja, mereka mencegat Eri dan Adi. Ketika Adi dan Eri akan berbalik arah,
dua orang siswa SMA lainnya muncul. Kini ada empat siswa SMA yang menghadang
Adi dan Eri. Melihat badge bajunya, tampaknya mereka adalah anak-anak SMA 8.
Eri yang saat itu mulai panik bersembunyi dibelakang Adi. “Gimana nih Di, aku
takut”. Adi tetap diam tak bergeming, namun tatapnya menjadi lebih tajam. Empat
orang tadi semakin mendekati mereka. Adi menepuk pundak Eri dengan kedua
tangannya, mereka kini berhadap-hadapan. “Ri, kamu tenang ya, kalau kamu takut,
tutup matamu ya” saat itu sambil tersenyum Adi menghibur Eri yang tengah
ketakutan. Kata-kata Adi saat itu ternyata mampu menenangkan Eri, tangisnya
yang tadi bergemericik mulai reda, seakan senyum Adi tadi memberi energi
positif pada Eri. “Nah, sekarang Eri tunggu dibelakang ku ya, jangan
kemana-mana”. Eri menurut, ia bersembunyi dibelakang Adi.
“Hehe, kami
hanya perlu uang kok, jadi beri saja kami uang, dan urusan disini aman
terkendali” ucap salah satu dari empat anak itu. “Iya boy, kami hanya perlu itu
kok”. Adi tersenyum sinis menanggapinya. “Wuih, senyummu jelek boy, nantangin
ya” sahut anak lain yang mulai terlihat tidak sabar. “Kerja sana, jangan jadi
pengemis!” Balas Adi. Eri yang mendengar jadi panik. Si Adi, malah bikin orang
tambah emosi dia. Oh iya, aku lupa kalau mulutnya kan manis banget kalau
membalas cacian. Eri geleng-geleng kepala melihat sikap Adi. “Hei boy, kami
tidak ingin ada yang terluka, jadi jangan paksa kami!” empat orang tadi mulai
marah, dan mereka sudah mulai menggulung lengan bajunya. “Memangnya kalian bisa
apa? Aku tidak takut dengan kalian” Adi kembali membalas dengan ketus. “Ampun
deh si boy satu ini, udahlah bro, kita pakai cara biasa saja” dan mereka mulai
mendekati Adi. Adi pun bersiap, ia mengepalkan tangannya keras-keras.
Sesaat ketika
empat anak tersebut hendak menyerang Adi, datanglah seseorang dengan mengendarai
kuda besi. Ia berhenti tepat dibelakang empat anak SMA 8 tersebut. Perhatian
empat anak tersebut teralihkan pada sosok yang baru datang itu. Orang itu
membuka helm-nya. “Mengeroyok orang? Kalian ini perempuan ya?”. Kata-kata
barusan cukup untuk membuat empat anak tadi mengalihkan sasarannya ke anak baru
itu. “Siapa lagi nih? Temannya ya?. “Nggak tahu, udah hajar aja!”. “Iya, hajar
aja sekalian!”. Dan sasaran mereka telah beralih arah. Melihat itu, Adi ingin
saja pergi, tapi ia urungkan niatnya. Ia justru melihat perkelahian empat lawan
satu itu. Dan Eri, masih setia menutup matanya. Anak itu turun dari motornya,
ia berdiri santai menanti serangan. Jika dilihat tinggi anak bermotor itu
sekitar 170an cm, setinggi Adi dan Adri. Wajahnya cerah, sorot mata tajam dan
senyumnya amat ramah. Tinju anak itu telah lebih dahulu bersarang di wajah
penyerangnya sebelum para penyerang itu menyentuhnya. Dua tinju menjatuhkan dua
orang dalam sekejap mata, dua orang lainnya yang hanya melihat jadi terpancing.
Satu orang maju menyerang anak bermotor tersebut. Namun sama seperti
sebelumnya, penyerang ke tiga jatuh dengan satu tinju tepat mengenai wajah.
“Hei, kalian bercanda ya? Dengan kemampuan segitu mau jadi preman? Kalian pasti
gila!” ujar anak motor tersebut.
“Prok ... prok
... prok”. “Hebat hebat, kau bisa mengalahkan mereka bertiga dengan mudah, tapi
cukup mereka saja, aku tidak”. Ujar siswa SMA 8 yang terakhir sambil bertepuk
tangan. “Heh, kau yakin nih? Balas anak bermotor tadi. “Hehe” setelah tawa itu
siswa SMA 8 tadi langsung merangsek menuju anak bermotor. Anak motor menangkis
tinju pertama, menghindari tinju yang kedua dan membalas dengan sebuah tinju
keras kearah badan, namun meleset. Anak bermotor sesaat kaget karena tinjunya
tidak kena, namun pukulan anak SMA 8 tersebut justru telah mengarah secepat
kilat ke arah wajah. “Awas!!!” teriak Adi yang hanya menyaksikan sejak tadi.
Beruntung anak bermotor masih bisa menangkis pukulan itu dengan tangannya dan
menyisakan sedikit nyeri. Dua anak itu sama-sama mundur, mencari celah,
memasang kuda-kuda baru. Anak SMA 8 memulai serangan dengan agresif dan cepat.
Tendangannya masuk tepat mengenai badan kiri anak bermotor, tapi ternyata itu
hanya tipuan, anak bermotor menangkap kaki yang menendang tersebut, ia pegang
kuat. Anak SMA 8 panik, ia tak bisa melepaskan kakinya. “Sial, kaki ku tak bisa
dilepas”. Anak bermotor menyerang lawan dengan sekuat tenaga, tinjunya masuk ke
dada, tinju ke dua masuk ke wajah, tinju ketiga kembali menghantam wajah. Anak
SMA 8 yang tidak lagi bisa melepaskan diri akhirnya memaksakan kaki yang
tersisa untuk menendang anak bermotor, berhasil, tendangan itu melepaskan kaki
sebelumnya. Bruuuk!!! Bunyi jatuh anak SMA 8 itu. “Hehe, boleh juga kau, kau
lebih kuat dari tiga orang itu, sebutkan nama mu sebelum kau kalah deh”. Ucap
anak bermotor tanpa merasa sakit sedikitpun.
“Sial, dia
kuat banget. Gimana nih, sial, sial, sial” pikir anak SMA 8. “Aku Ilfan dari
SMA 8, dan aku akan menghajarmu anak sombong!” sambil mengucapkan itu Ilfan
menyerang lagi anak bermotor tadi. Buagh!!! Suara jatuh Ilfan dan tak lagi bisa
berdiri, ia telah kalah dari anak bermotor itu. “Aku Raiz, ingat itu bocah”.
Ucap anak bermotor yang bernama Raiz tersebut. Raiz menghampiri Adi. “Kalian
nggak apa-apa kan? Ucapnya. “Kami nggak apa-ap, terima kasih bantuannya”.
“Hohoho, its okay, eh itu siapa dibelakangmu?”. “Oh ini temanku, Eri”. “Eri???
Balas Raiz mengerutkan keningnya. Eri membuka matanya, dan “Raiz???”. “Hei Ri,
Apa kabar? Balas Raiz pada Eri. “Ehm, sudah saling kenal ya?”. Eri dan Rais
adalah teman saat SMP, teman sekelas dan cukup akrab. Dan terjadilah sedikit
percakapan antara mereka bertiga sebelum akhirnya Raiz pergi dan Eri tetap
mengajak Adi menemaninya makan.
Perjalanan
hari itu berakhir dengan Adi melepas Eri pergi dengan angkutan umum dan Adi
pulang ke rumah dengan angkutan umum pula. Agenda ke toko ibu di pasar hari itu
batal.
***
“Ron, aku
ingin meminta bantuanmu untuk menyampaikan pesan pada anak kelas satu yang
menjengukmu kemaren” pagi itu Anwar memulai pergerakannya dengan menyampaikan
tantangan Arainan pada Randi. “Maksudnya Randi ketua?”. “Iya, katakan padanya
kalau Arainan menantangnya berduel sore nanti di hutan kota”. Baron tercekat
mendengarnya. Baron juga sedang ingin menantang Randi. “Tapi ketua, aku juga
ingin bertarung dengan Randi”. Anwar melirik Baron “Masalah apa kau
dengannya?”. Baron terdiam, tak ada alasan pasti, hanya Baron merasa perlu
bertarung melawan Randi yang merupakan orang-orang kuat digenerasinya, dan
mengalahkan Randi artinya menaikkan level Baron. “Aku tidak akan menghalangi
tujuanmu Ron, tapi aku hanya memperingatkan saja kalau Arainan sudah menetapkan
targetnya, dia tak akan melepaskan sampai dapat. Jangan sampai terluka hanya
karena kau ingin melawan Randi juga.” Ucap Anwar tegas. Anwar tahu bagaimana
mengerikannya Arainan dalam pertarungan. Itu juga alasan Anwar tak ingin
mengganggu Arainan. Baron masih terdiam, hasratnya kuat untuk bertarung dengan
Randi, tapi setiap orang tahu bagaimana Arainan. Baron mengalah. “Baiklah
ketua, aku akan sampaikan pesanmu, tapi aku tak bisa memaksa kalau dia tak mau,
karena tantanganku juga sudah ditolaknya berkali-kali”. Anwar tersenyum licik.
“Tidak apa-apa, sampaikan saja dahulu, sisanya urusanku”. Tanpa perintah Baron
pergi meninggalkan Anwar.
***
Istirahat
siang
“Gak nyangka
bisa ketemu Adri disini”. Saat itu Randi dan Adri bertemu di kedai sekolah. “Oh
kau rupanya” balas Adri. “Kau sudah dengar kabar belum?” tanya Adri pada Randi
sambil mengambil makanannya. “Apa?” tanya Randi. “Kau di incar oleh Arainan”
jawab Adri. Randi terdiam “Maksudmu apa?”. Sesaat kemudian datanglah Baron ke
kedai pula. “Wah wah, kebetulan sekali bertemu kalian berdua disini”. “Sial”
ucap Adri. “Tenanglah Dri, aku nggak akan bilang ke ketua kalau kau ada disini,
urusan ku sama si Randi”. “Baguslah” jawab Adri “Jangan ganggu makanku”. Sambil
Adri melanjutkan makannya. “Ada apa denganku Ron? Jika masih soal tantanganmu,
maaf aku tidak tertarik”. Hmmmmhufffttt, Baron menarik nafas panjang. “Sudah
kuduga, tapi kali ini aku hanya menyampaikan pesan dari Arainan, dia menantimu
jam 15.00 di Hutan Kota, dia menantangmu berduel”. Randi jadi semakin
mengerinyitkan dahinya, ia tak mengerti ada apa dan apa yang telah terjadi.
“Kenapa Arainan menantangku?”. “Aku tidak tahu, aku hanya menyampaikan pesan”.
Randi masih berdiam diri. “Baiklah, aku pergi saja, nikmatilah jamuan untukmu
Ran, hahaha”. Kemudia Baron berlalu.
Randi dan Adri
yang tinggal saling pandang. “Makan nasi mu Ran, jangan jadi orang bingung
gitu”. Randi menatap makanannya, seleranya hilang. Ia lihat Adri yang makan
dengan lahap. Tiba-tiba Randi menumpahkan nasinya ke piring Adri. “Woi,
apa-apaan nih”. Bentak Adri kaget. “Udah makan aja, aku yang bayar, mood ku
hilang tapi gak mau mubazir, tolong ya”. Kemudian Randi mengambil minuman
kaleng dua, untuknya satu dan Adri satu. Adri yang melihat itu merasa lucu,
tapi dia sedang malas tertawa. Jadi ia habiskan saja makanannya. “Kau bisa
santai begitu ya, padahal dikejar-kejar Anwar”. Adri dan Randi duduk berdua
sambil ditemani minuman kaleng tadi. Adri telah selesai makan. “Aku memang
santai, prinsipku selagi bisa menghindar aku akan terus menghindar, soalnya aku
tidak berminat pada Anwar” jawab Adri. “Lalu, siapa yang ingin kau lawan?”.
“Arainan, tapi tidak sekarang”. Adri melanjutkan kata-katanya. “Sial, aku sudah
tidak tertarik lagi dengan perkelahian-perkelahian ini”. Randi menghela nafas
panjang. “Kalau kau bisa mengalahkan Arainan, mungkin nanti bukan Arainan lagi
yang akan kuhadapi, tapi kau Randi” tatap Adri tajam. Randi justru terkejut
dengan pernyataan Adri tersebut. “Hahaha, sial, jadi kau tidak memandangku
ya?”. “Aku tidak pernah dengar apa-apa tentang kau Randi, lagipula kabar bilang
kalau kau sudah tidak bertarung lagi sejak lulus SMP, memangnya apa yang kau
takutkan dari singa yang sudah tak pernah berburu lagi? Jangan-jangan cakar dan
taringnya sudah habis semua” balas Adri pada Randi. Randi terdiam, ia tak bisa
membalas kata-kata itu.
***
Kata-kata Adri
disekolah tadi masih membayangi kepala Randi. Perjalanan pulangnya menjadi
tidak tenang. Gang tempat biasa dia berjalan jadi terasa panjang karena
linglung. Tiba-tiba muncul seseorang. “Kau?”. “Yo junior, aku tahu kau akan
kabur, jadi beberapa hari ini aku sibuk mengamati jalan pulang mu loh” ternyata
itu adalah Arainan. “Aku tidak tertarik dengan tantanganmu senior, aku minta
maaf jika aku menyinggungmu”. Balas Randi. “Ayolah junior, ini bukan soal
memberi maaf atau tidak, ini soal harga diri para laki-laki dan soal bagaimana
laki-laki menyelesaikan urusannya secara jantan”. “Aku tidak tertarik senior,
maaf, aku harus pulang”. Randi tetap dengan keputusanya. Ia melanjutkan
jalannya dan melewati Arainan. “Sial, Apa aku coba saja” pikir Arainan sambil
mengarahkan tinju ke Randi yang telah selangkah melewatinya. Tinju itu melesat
ke arah kepala Randi, namun Randi tak menoleh, ketika tinju itu hampir mengenai
Randi, Arainan menahan tinjunya. “Sial, aku tidak mungkin memukulnya dari
belakang” umpat Arainan. Sedang Randi tetap berjalan, dengan dada berdebar. Aku
beruntung dia tak mengenaiku, kalau tidak, aku belum tentu bisa menahan diri,
pikir Randi saat itu. Terlihat tinju di tangan Randi telah mengepal. Randi
beruntung Arainan adalah seorang laki-laki yang tak akan memukul dari belakang.
Randi bebas hari itu, setidaknya untuk hari itu, dan besok entah apa yang akan
terjadi.
***
“Di, kau belum
memutuskan untuk ambil ekskul ya? Padahal semester satu udah lewat loh”. Ucap
Andra pada Adi disela-sela istirahat ketika berada di “Surga Kami” itu.
Kesibukan ujian semester akhir-akhir ini membuat mereka tak sempat ke tempat
ini. Keempat anak itu cukup kompak hari ini untuk mengunjungi “Surga Kami”
meski tak membuat janji sebelumnya. Seperti biasa Adri selalu datang lebih dulu
untuk tidur, bedanya saat ini ia sudah merasa terbiasa untuk tidur didekat Adi,
Andra dan Eri. Eri datang terakhir karena baru saja menyelesaikan pendaftaran
untuk mengikuti ekskul tari. Adi masih belum menjawab pertanyaan Andra. Ia
memandangi langit biru yang amat menenangkan kala itu. Meski cuaca cerah,
suasana pagi itu tak terlalu panas. Pohon-pohon rindang menyejukkan tempat itu.
“Aku tidak tahu mau ikut apa, aku tidak terlalu pandai olahraga, bermain musik
juga tidak bisa” jawab Adi kemudian. Suasana kembali hening.
“Aku juga
tidak tahu ingin ikut apa, olah raga payah, musik tak ada kepandaian”,
huuffftttt, Andra melenguh panjang. “Aku jadi iri dengan mereka yang ahli
disuatu bidang entah itu olah raga atau musik”. Suasana kembali membisu.
Masing-masing memikirkan hendak mengatakan apa, karena kata-kata yang salah
akan dapat merusak suasana saat ini. “Kan masih ada pramuka, PMR atau Paskibra”
ucap Eri memecah keheningan. Adi melirik Eri, kemudian menatap Andra, menanti
respon darinya. Andra masih berpikir-pikir. “Kalau kau Dri?” teriak Andra pada
Adri sambil menggoyangkan badan Adri. Adri terbangun, dengan tatap tajam ke
arah Andra. “Ada apa dengan mu?” bentak Adri. “Iya kau bagaimana, rencana masuk
ekskul apa?” Andra mengulangi pertanyaannya. Adri menatap Andra. “Kalau tidak
penting, jangan membangunkanku” jawab Adri sambil memutarkan badan dan
melanjutkan tidurnya. Adi dan Eri menahan tawa melihat hal itu. “Harusnya si
Adri ikut pencak silat, kan hobinya” celetuk Andra lagi. “Bukannya kau ingin
masuk PMR kemaren ya?” Tanya Adi. Andra cuek “Jangan menanyai hal yang tidak
penting, aku mau tidur”. Jawab Andra sambil meniru gaya Adri dan ia juga tidur.
Adi dan Eri
saling pandang-pandangan, mereka merasa sikap dua orang temannya kali ini amat
lucu. “Eri serius ikut tari?” tanya Adi. “Iya” jawab Eri pasti dengan senyum yang
ikut menyembul dari bibir tipisnya. “Kenapa?”. Eri terdiam sesaat. “Sejak kecil
aku sudah diajari ibu menari, aku sering ikut acara tari ketika TK, SD, maupun
SMP. Aku merasa senang jika menari. Aku merasa bisa melepaskan semua beban
dengan menari. Aku, jadi begitu merasa bisa tenang ketika menari”. Eri
bercerita dengan penuh senyum, aura kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Aura
yang amat menenangkan, dan Andra yang tidak benar-benar tidur terpesona akan
Eri saat itu. ia merasa dunia dalam hatinya berbunga-bunga. “Kau tahu Di, aku
tidak terlalu baik dalam belajar”. “Aku tidak sebaik kakak-kakakku dalam
pelajaran”. Eri diam sejenak. “Terkadang aku merasa iri dengan mereka yang
hebat dalam belajar, aku merasa asing di rumah jika waktu pembagian rapor sekolah,
karena kakak-kakakku selalu masuk tiga besar disekolah. Aku masuk sepuluh besar
saja tidak pernah. Tapi meski begitu, aku menghibur diri dengan berlatih
menari. Aku senang ketika ayah mendukung hobi ku dalam menari. Saat itu keadaan
jadi tidak seburuk yang aku bayangkan. Ayah selalu bilang pada ku untuk
men-syukuri apa yang aku punya, dan aku bersyukur karena aku bisa menari, tidak
semua orang bisa menari dengan kesungguhan”. Eri menutup kata-katanya dengan
senyum yang amat indah, dan Andra semakin berbunga-bunga hatinya.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar