4
Hari ini
merupakan hari pertama di SMA, setidaknya untuk kegiatan belajar mengajar
karena beberapa hari sebelumnya harus mengikuti MOS yang merupakan acara
“wajib” yang kesemua isinya kuanggap sangat menyebalkan. Mulai dari perkenalan,
kalau perkenalan okelah, nggak masalah, itu kayaknya harus dilakukan,
tapi kegiatan lainnya? Konyol, apa perlunya membuang-buang waktu dengan membawa
lusinan pernak-pernik aneh yang wajib dipakai sejak dari rumah sampai ke
sekolah dan parahnya lagi, kami-kami yang mereka sebut junior ini diharuskan
mendapatkan tandatangan dari mereka yang menyebut dirinya senior itu. Gila, gue
paling males harus berebutan sampe harus nyanyi dan nembak cewek segala cuma
untuk sebuah tanda tangan. Dan lagi, nggak ada pembelaan buat kami yang
teraniaya ini, gurupun dengan bijaksana bilang kalau acara ini bagus buat kami,
ajang perkenalan dan menumbuhkan rasa kebersamaan katanya. Ajang menumbuhkan
rasa kebersamaan dari sisi mananya coba? Dari rasa teraniayanya sih iya, kalau
yang lainnya mana ada. Malah kayaknya acara ini terlihat sebagai ladang
pembantaian dan ajang balas dendam dari para senior-senior yang sepertinya
sangat menikmati acara konyol ini. Dan gue yang teraniaya berharap kegiatan ini
cepat berakhir.
Istirahat pertama, aku berhasil menemukan “surga”, sebuah padang rumput
hijau beratapkan langit biru yang cukup jauh dari keramaian di belakang
sekolah. Menikmati langit sambil tiduran dilembutnya belaian rerumputan itu
sangat menyenangkan, setidaknya untukku. Langit memang selalu menjadi
pemandangan yang indah bagiku, apalagi setelah hujan turun. Kau akan melihat
indahnya lukisan sederhana Tuhan yang berjudul pelangi. Sebuah kesederhanan
yang indah. Tiba-tiba sekelebat bayangan menghalangi pemandangan “surga”-ku ini,
sesaat aku tertegun, lalu munculah dengan jelas seseorang sambil mengulurkan
tangannya kearahku.
“Hei, aku Misbahul Andra,
anak X.3” kali ini ia mulai bersuara.
Aku masih diam tak membalas
uluran tangannya tersebut. Perlahan ia duduk di sampingku
“Ternyata gossip tentangmu
itu ada benarnya juga ya” ucapnya lagi dengan sunggingan senyuman ke arahku.
“Apa?” tanyaku sembari
mendelik kearah orang asing itu tetap dengan posisi menikmati “surga” kecilku.
“Itu tidak penting, gue tahu
kok nama loe, Adi Satryo, alumni SMP Harapan 1, mahluk penyendiri dan super
cuek itu kan?” katanya dengan sangat percaya diri.
Aku masih saja diam tidak
peduli dengan apa yang dikatakannya, lagu lama buatku. Aku memang sering di
sebut penyendiri oleh mereka yang tak ku sukai, bukan tak ingin berteman, hanya
saja pengalaman yang sudah-sudah di mana mereka yang menyebut dirinya “teman”
itu hanya datang saat mereka ada keperluan saja, ketika sudah terpenuhi semua
kebutuhannya, mereka pergi entah kemana. Sejak itu, aku tidak terlalu peduli
dengan hal-hal munafik bernama “teman”, bagiku tak ada yang namanya teman, yang
ada hanya tempat untuk memenuhi kebutuhan, tidak lebih.
“Tapi gue gak yakin dengan
ocehan burung yang beredar, gue pengen buktiin kalo ocehan burung tu salah
tentang loe, gue bakalan jadi teman pertama loe, gimana? Tertarik?” kali
ini sebuah kalimat persuasive yang cukup menggoda keluar dari mulutnya,
setidaknya aku mulai tertarik.
“Terserah loe, semoga aja loe
bisa bertahan” hanya itu jawaban yang meluncur dari mulut ku sembari berlalu
menuju kelas dan diikuti oleh anak asing itu.
Hujan lebat turun melingkupi sekolah, mengurungku dan
anak-anak lain untuk tetap di wilayah kelas. Aku hanya bisa memandangi turunnya
hujan dengan bersandar pada dinding kelas dengan ditemani Andra, orang
yang baru saja mendeklarasikan dirinya sebagai teman pertamaku. Ketika
imajinasiku tentang hujan tengah larut, seorang laki-laki lewat dihadapanku.
Aku menoleh padanya, dia orang yang namanya tak akan kulupakan saat perkenalan
kemarin, Adri Rhamdan. Laki-laki dengan sorot mata tajam dan senyum sumringah
khas yang identik dengan berandalan. Entah kenapa aku merasa tertarik dengan
anak ini, seperti ada kesamaan antara aku dan dia. Dia menatap tajam ke arahku,
senyum terpampang dari bibirnya, akupun melempar senyum padanya dan kuanggap
itu sebagai sebuah “sapaan”.
“Sialan
banget ni hari, udah hujan mana becek lagi” gerutu Andra di tengah perjalanan
pulang.
“Loe ngapain si mau ke rumah
Rinjani segala, kurang kerjaan ya?” tanyaku dengan nada kesal mendengar keluhan
Andra sepanjang jalan.
“Gue mau pinjem catatan”
“Catatan loe kemana?”
“gue gak sempet nyatat, mau
pinjem catatan loe gue gak yakin sama isinya”
“terserah loe deh” ucapku
menutup pembicaraan.
Ketika kami sibuk saling
menggerutu satu sama lain, tiba-tiba Andra menunjuk kesebuah tempat
berumput yang tak jauh dari tempat kami berada
“Eh Di, liat tuh, ada
orang berkelahi!”.
Ku amati tempat itu
dari kejauhan, benar! Terlihat dua orang saling memukul satu sama lain. Tanpa
pikir panjang aku berlari kearah tersebut. Tanah berlumpur yang kulalui sedikit
menghambat langkahku, tapi dengan rasa penasaran yang memburu, aku tetap
mengayunkan langkah menuju tempat dimana kedua sosok itu berada. Aku cukup
terkejut ketika yang aku lihat di sana adalah sosok Adri dan seorang yang tak
ku kenal. Sepertinya ia bukan siswa sekolahku. Mereka tetap melanjutkan
perkelahian tanpa memperdulikan kehadiranku. Tiba-tiba anak yang menjadi lawan
Adri terpental ke tanah. Adri menoleh ke arahku dengan iringan tatapan
tajamnya,
“Jangan ikut campur urusanku”
teriak Adri padaku
Aku membalas dengan senyuman
“ tentu saja, aku hanya
ingin menonton”
Tanpa mempedulikan jawabanku,
Adri kembali melanjutkan perkelahiannya, perkelahian yang tampaknya cukup
sengit, sepertinya Adri cukup jago dalam berkelahi, terlihat lawannya tak
berdaya, dan selang beberapa lama, akhirnya ia jatuh. Anak itu berdiri, bukan
untuk melanjutkan perkelahian melainkan pergi meninggalkan Adri dengan langkah
yang diseret. Tinggalah kami berdua, dalam sunyi kami saling bertatapan. Aku
tersenyum sumringah untuk kesekian kalinya.
“Kau benar-benar hobi menatap
orang dengan pandangan seperti itu ya?” sebuah pertanyaan konyol muncul dari
mulutku. Adri melotot menatapku, lalu ia membuang muka dan berjalan melewatiku
menuju motornya. Ia kembali menatap kearahku. Ia memacu Ninjanya kemudian mulai
menghilang dari pandanganku. Kali ini kulihat Andra dengan tersengal-sengal
datang kearahku.
“Apa yang terjadi?” tanyanya
penasaran.
“Nggak ada” jawabku singkat.
“Oi, mau kemana lagi? Baru
nyampe nih”
“Ke rumah Rinjani” jawabku
sambil terus berjalan tanpa memperdulikan Andra.
“Dasar nih anak, gak punya
rasa kasihan apa?” gerutu Andra yang dengan terpaksa tetap mengikuti langkahku.
Bersambung
…
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar