Satu yang kan selalu kukenang
Selamanya tak kan pernah bisa ku lupakan
Tangis dan tawa
Menjadi satu dalam alunan nada yang indah
Selamanya tak kan pernah bisa ku lupakan
Tangis dan tawa
Menjadi satu dalam alunan nada yang indah
Mungkin kau tak kan pernah bisa
Membalas tulus kasihku selamanya
Biarkanlah waktu yang berputar
Menjawab semua kisahku padamu …
Membalas tulus kasihku selamanya
Biarkanlah waktu yang berputar
Menjawab semua kisahku padamu …
The Banery-Waktu yang Menjawab, mengalun indah melalui
mini handset ditelingaku ,
menghanyutkan otakku dalam duniaku. Hiruk pikuk kelas tak sedikitpun mengusik dunia
ku. Sesekali kuperhatikan isi kelas, riuh, seperti pasar, tidak terlalu pasar
tapi juga tak layak untuk disebut sebagai suasana kelas. Mungkin boleh
menganggapnya sebagai ruang pesta pada acara prom night atau semacamnya. Anak-anak asyik melakukan kegiatannya,
tak ada yang peduli dengan guru, guru pun sepertinya enggan masuk ke kelas ini.
Kelas ini memang terkenal dengan status “biang kerok” nya dibanding kelas lain.
Tapi sepertinya bukan itu alasan mengapa hari ini guru kesenian itu tidak bisa
datang. Ia harus pergi mendampingi siswa-siswi yang mengikuti lomba ke luar
kota, dan sepertinya itu lebih dari dua atau tiga hari.
Masih mengamati dari tempatku, bangku bagian
belakang sedikit ke pojok. Bangku belakang adalah tempat favoritku, ada
filosofi tersendiri kenapa aku menyukainya. Mungkin kebanyakan orang duduk di
belakang untuk menghindari guru, tapi itu bukan tujuanku. Bagiku bangku
belakang merupakan tempat tersantai untuk menikmati semua keadaan kelas. Kau
bisa tidur dengan resiko yang minim, mencontek pun lebih leluasa dan mengamati
sekeliling dengan bebas, ya, mengamati, itulah yang sering kulakukan, mengamati
berbagai hal yang terjadi di dalam kelas dan menikmati setiap detailnya dengan
pemikiran-pemikiran yang terkadang akupun tak pernah bisa memahaminya. Tapi
tetap saja, menyenangkan bagiku.
Saat
aku tengah asyik dengan duniaku, tiba-tiba ada hal yang mengalihkan
perhatianku. Sebuah pertikaian kecil tak jauh dari tempat duduk ku dan orang
yang tak asing lagi buatku, Adri, ia bertengkar dengan teman sebangkunya.
Sontak aku berdiri dan menghampirinya, ku tarik Adri dari tempat duduknya
menuju tempat kosong di samping mejaku. Kutahan ia agar tak melanjutkan
amarahnya, karena aku tahu bagaimana jika ia marah, ia tak akan berhenti
sebelum ada yang babak belur.
“Duduklah
di sini, tidak akan ada yang mengganggu tidurmu atau mengocehimu jika kau tak
membawa buku panduan di sini” ucapku pasti sambil menahan kedua pundaknya agar
ia tidak mendatangi anak tadi dan mengamuk di sana. Adri menatapku tajam
seperti biasanya, kemudian berangsur-angsur berganti senyum, bukan senyum tulus
tampaknya, mungkin ia masih kesal.
“heh,
terserah loe”
Kemudian Adri membaringkan badannya,
melanjutkan tidur yang sempat tertunda karena teman sebangku yang tak mengerti
sifatnya. Cukup lega aku melihat situasi ini, setidaknya tanpa kekerasan aku
bisa mendiamkannya dan sekarang dia akan jadi teman sebangkuku untuk setahun kedepan,
mungkin akan menyenangkan.
Istirahat
siang di tempat biasa di “surgaku”, hampir
sepanjang jalan sampai tiba di tempat ini aku mendengarkan ocehan nggak penting
Andra yang komplain jika aku harus duduk bersebelahan dengan Adri.
“ngapain
loe harus duduk bareng dia, pengen cari masalah sama anak berandalan itu, hah?”
“nggak
ada alasan khusus” ku jawab sesingkat mungkin agar ia tak terus-terusan
mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Andra menghela nafas mendengar
jawabanku, tampak kekecewaan dari wajahnya. Sejenak kami terdiam, aku masih
tetap menikmati pemandangan “surgaku” dan berpura-pura tak menghiraukan Andra.
“Gue
nggak ngelarang loe deket sama tu anak, itung-itung nambah teman buat loe, tapi
gue takut loe bakal dapat banyak masalah kalo sama dia, dia itu banyak musuh”
ucap Andra memecah kesunyian.
“Gue
tau, tapi itu bukan alasan buat nggak ngizinin dia duduk disamping gue kan?
Jangan konyol, loe mau anak kemaren babak belur sama si Adri?” segelontor
pembelaan meluncur dari mulutku. Kali ini Andra memilih diam, ia tak ingin
berkomentar banyak.
“Terserah
loe, kalau loe merasa itu aman, it’s oke, nggak masalah buat gue”
“Tenanglah,
dia itu anak yang baik kok”ucapku meyakinkan Andra
Kemudian kami bersama-sama menatap
ke depan, menikmati indahnya lukisan Tuhan.
***
“Oi, gue mau tidur siang nih, jangan
ganggu” tiba-tiba Adri mengagetkan ku yang tengah asyik bermain dengan
lagu-lagu dari Handphoneku.
“Udah,
tidur aja loe sana, loe aman di sini” jawabku singkat.
Tanpa sengaja aku memperhatikan
wajah yang tengah terlelap itu, kelelahan timbul dari mukanya, bukan hanya itu,
ekspresinya yang selama ini cuek dan kasar sama sekali tak nampak. Wajahnya
malah terlihat seperti orang yang menyembunyikan kesedihan, garis-garis keras
hidup yang ia jalani tampak di sana. Aku makin merasakan kemiripan yang selalu
mengganjal dihatiku tentang anak ini. Lama ku tatap, tiba-tiba aku dikagetkan
oleh Andra.
“
oi, keluar yuk, udah istirahat nih”
“
mmm, iya. Ayo”
“
eh, itu si Adri ya?”
“iya”
“ngapain
tu orang?”
“dia
lagi tidur, udah biarin aja, kita pergi”
Aku menarik Andra untuk segera
menjauh dari Adri, mengamankan keadaan. Sebelum menuju ke tempat biasa, kami
terlebih dahulu ke kantin untuk membeli beberapa makanan kecil dan minuman.
Saat kami berjalan di belakang kelas, kami melihat seorang anak perempuan
tengah duduk sendirian seraya merunduk. Saat kami berjalan di dekatnya, sayup
terdengar isakan lembut, aku tak mengacuhkannya dan tetap berlalu begitu saja.
Aku tidak suka pada tangisan apalagi air mata, karena itu meskipun Andra
mencoba menghentikanku, aku tetap berjalan tanpa memperdulikannya.
bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar