Malam menjelang, langit
temaram berhiaskan kerlip bintang memasygulkan panorama malam itu. Aku duduk di
kursi di depan rumah memandangi suasana malam. Memperhatikan cantiknya rembulan
malam, seakan-akan ia pun memperhatikanku. Sesekali aku menghisap kretek milikku, mengobati dinginnya
malam yang menusuk tulang. Selain mantel penghangat suasana, kretek ini merupakan teman penghapus
sepi bagiku. Semula aku bukanlah penghisap kretek,
bahkan terkesan jauh dari benda yang cukup populer dikalangan pemuda tersebut.
Baru setahun ini aku dekat dangan rokok, pun sudah merasa akrab dengannya.
Malam yang cukup aneh
bagiku. Suasana yang demikian tenang dengan panorama langit yang begitu
mempesona membuat ku seakan berada di dunia lain. Aku tak seperti berada di
Kota Langit ku yang kecil. Kota ku memang kecil, tapi jika malam datang,
suasana hening dan tenang adalah hal yang langka. Memang tidak terlalu ramai
layaknya kota-kota besar, namun kau tidak akan takut untuk keluar malam di Kota
kecilku ini. Hampir setiap sudut akan kau temui sumber cahaya baik dari
rumah-rumah penduduk maupun dari warung-warung maupun toko yang masih buka.
“Malam yang indah, meski
tak biasa” gumamku sambil tetap menyeruput kenikmatan dari nikotin-nikotin kretek yang mulai menipis. Perlahan
suasana dingin mulai menjalar, buru-buru ku nyalakan kretek yang baru.
“Hmmmm, sepertinya aku mulai
kecanduan nikotin berasap ini” pikirku. “Kalau dulu, kau pasti bakal mengomeliku sampai bosan gara-gara
berniat merokok. Tapi sekarang, aku justru terbiasa dengan lintingan-lintingan
tembakau ini. Itu dulu kan, Fa”. Tiba-tiba terbersit kenangan tiga tahun lalu,
kenangan saat masih bersama Farha Syifa, orang yang dulu pernah menemani
hari-hariku, Ghazi Fahmi.
Aku masih ingat saat kau ngomel-ngomel cerewet melarang niat ku untuk mengikuti teman-temanku yang sebagian sudah mulai merokok. Berhari-hari kau ngambek dan tidak mau bicara padaku hingga akhirnya aku harus berjanji padamu untuk tidak merokok. Berhasil, kau memaafkanku. Aku jadi tertawa sendiri mengingat hal itu.
“Jadi rindu”. Sesekali aku
bermain-main dengan asap yang kuhembuskan. Kerlip bintang gemintang masih
menari-nari seperti tadi. Ingatan pun beralih pada saat terakhir bersamamu.
Saat yang tak akan pernah terlupakan dalam hidupku, bahkan ketika aku sibuk
dengan nikotin sekalipun, aku tak akan bisa melupakan hari itu. Hari itu, saat
dimana kau harus berjuang melawan penyakitmu, berusaha tersenyum kepada semua
orang dan berkata bahwa kau baik-baik saja, itu sangat menyakitkan bagiku.
Melihatmu yang sangat aku sayangi tanpa bisa melakukan apa-apa, mata yang tak
kuasa menahan gelombang bening yang mengalir, aku merasa seperti orang yang paling
tidak berguna saat itu, hanya bisa melihatmu.
Leukimia,
sel darah putih yang terus memakan sel-sel darah merah, itulah malaikat yang
menjemputmu pulang ke tempat yang tak akan bisa aku temui, meski sekedar untuk
menjenguk saja. Aku masih ingat kata-kata terakhirmu, kata-kata yang masih
menghibur sepi yang sering berkunjung, rindu yang terkadang menyapa, dan
senyummu yang selalu menghangatkan, lebih dari yang diberikan nikotin-nikotin
berasap yang kini menjadi teman pelipur laraku.
“Tersenyumlah dan ikhlaskan, semua akan
baik-baik saja”. “Aku akan pergi jauh, kau tak perlu merindukan aku, cukup kau
do’akan saja, dan jaga janjimu dulu, karena janji itu bukan sekedar untukku,
tapi juga untuk mu”.
Kata-kata
yang hanya bisa kujawab dengan linangan air mata, kata-kata yang aku sendiri
tak tahu apakah aku sudah mematuhinya, kata-kata yang saat ini telah aku
langgar, kata-kata yang akan membuatku larut dalam kenangan terakhir itu. Aku
membumbung jauh dan merasa benar-benar sendirian, perlahan bulir-bulir bening
mengalir.
“Kamu nangis?”
Tiba-tiba sebuah suara menyapaku,
suara lembut dan merdu yang tak asing bagiku, suara yang sejak pertama kali ku dengar
hingga kini yang tak akan pernah hilang dari list suara-suara dalam memori otakku. Suara yang dulu membuat
jantungku berdetak, bergerak tanpa irama, suara yang malam ini kembali
membuatku berdetak, lebih kencang, suara yang ku rindukan.
Aku menatap kearah suara itu.
Benar! Itu Syifa, aku seakan-akan hilang, aku merasakan bahwa duniaku kembali
cerah, tak ada perasaan ganjil apapun.
“Kamu nangis, kenapa Zi?”. Kembali
suara lembut Syifa menyapaku, kali ini diiringi senyuman menawan yang hanya
miliknya, senyuman khas yang tak akan dimiliki oleh wanita manapun, senyuman
milik wanitaku, gadisku, kekasihku.
“Eh, nggak apa-apa, aku juga nggak
tahu kenapa”.
Aku tak mengerti apa yang terjadi,
semua tiba-tiba menjadi sangat ganjil tapi aku tak menyadari, tidak merasakan
apapun.
“Wah, kamu sudah merokok sekarang
Zi? Apa karena aku nggak ada kamu jadi suka merokok.”
Syifa menatapku, mencoba mencari
tahu. Aku pun seperi orang yang hilang ingatan. Aku hanya diam, tak sepatah
kata pun mengalir dari bibirku.
“Apa aku menakutimu Zi? Aku hanya
mampir, untuk menyapamu, aku mengkhawatirkanmu.” Terbersit sedikit kecewa
diwajahnya. Aku menatap wajah itu, wajah yang memikat hatiku, wajah yang bulat
seperti telur yang terlindungi oleh jilbab, wajah yang menawan hatiku, masih
seperti dulu, semakin cerah. Aku masih terdiam, masih tak mengerti apa yang
terjadi.
“Sepertinya kau merindukanku, terlalu
merindukanku kan? Hmmm...” ucapnya lagi dengan senyum nakal kepadaku yang masih
kebingungan.
“Hahaha, Aku cuma mampir sebentar,
cuma mengingatkanmu, aku masih mencintai mu Ghazi, namun kamu harus ingat,
tersenyumlah dan ikhlaskan, semua akan baik-baik saja, do’akan aku dan ingat
janjimu”.
Aku tersentak, aku menoleh kearah
Syifa yang perlahan menghilang bersama angin malam, yang tersisa hanya senyum
khas dan kata-kata terakhir yang baru saja ia ucapkan, kata-kata yang dulu
pernah ia ucapkan saat ... hari terakhir aku bersamanya, memegang erat
tanggannya, mengantar kepergiannya selama-lamanya.
Aku
terkejut, terbangun dari tidur ku.
“Mimpi?” pikirku.
Napas ku naik turun, keringat
membasahi ku. Aku meraih air putih yang biasa aku siapkan sebelum tidur di meja
belajarku. Setelah sedikit tenang, aku mulai mengingat kembali mimpi yang baru
saja terjadi.
“Rupanya aku merindukanmu Fa,
sampai-sampai untuk meredamnya kau harus berkunjung dan menyapaku malam ini”.
Aku menarik napas panjang, sejenak
tertegun.
“Aku sudah mendo’akanmu Fa, aku
juga gak merokok sampai hari ini, pun nanti, meskipun aku masih sedikit susah
untuk tersenyum, aku akan selalu mencobanya kok. Tapi, aku masih belum bisa
melepasmu sepenuhnya, itukah yang membuatmu datang malam ini?”
Aku bertanya-tanya dalam hati meski
aku tahu tak akan pernah ada jawabannya. Yah, terkadang ada pertanyaan yang
tidak memiliki jawaban atau yang tak akan kita temukan jawabannya.
“Maafkan aku Fa, jika sampai hari
ini masih tak bisa melepasmu. Sepertinya ini menyiksa mu di sana hingga kau
harus menyisihkan waktu untuk berkunjung. Sebisa mungkin aku akan
mengikhlaskanmu, karena memang selayaknya kau berada di sana tanpa beban, tanpa
keberatan”.
Aku merenungi banyak
hal yang telah terjadi malam itu, sebuah mimpi yang memaksaku menyusuri
jejak-jejak masa lalu. Mengingat kembali pesan penting yang sempat terabaikan,
kedatangan yang membuat ku harus memahami bahwa setiap kepergian, siapapun dia,
keikhlasan dari yang ditinggalkan adalah bekal perjalanan yang sangat dia
butuhkan, meski berat. Perenunganku berakhir ketika kumandang subuh menyapa,
menuntunku menunaikan kewajibanku.
Jum’at, dini hari.
Kota Perantauan.
101014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar