The People
Hutan Kota, Minggu, Pukul 5.30 WIB
Pagi yang tidak terlalu gelap itu,
Hutan Kota telah ramai oleh remaja-remaja tanggung yang hendak menyaksikan salah
satu duel terbaik tahun ini. Duel besar beda generasi, namun akan sangat
membara. Berduyun-duyun manusia datang satu per satu atau kelompok demi
kelompok. Tidak hanya anak SMA, anak SMP pun turut meramaikan duel itu. Duel
pergantian generasi ini juga dihadiri oleh orang-orang kuat baik yang akan
habis masa atau yang akan segera mengambil alih kedudukan suatu era, sangat
ramai hingga akan sangat mudah memicu tawuran antar geng. Namun demikian,
pertarungan semacam ini tak pernah berakhir dengan tawuran, “Di Kota Ini” telah
ada semacam perjanjian tak tertulis yang telah dipahami bersama bahwa setiap
ada duel maka jangan sampai ada keributan karena sanksi yang menimpa adalah
bagi kelompok yang menjadi pemicu akan dimusuhi oleh seluruh kota. Entahlah,
namun yang demikian pernah terjadi sehingga tak ada yang berani melanggarnya.
“Aku tidak menyangka, di pagi yang
indah untuk tidur ini kau memaksaku untuk keluar Ndra” gumam Adi yang tengah
mengikuti langkah cepat Andra. Andra memaksa untuk menginap di rumah Adi
kemarin. Andra ternyata penasaran dengan duel ARG dan Ryo Anggara, dan karena
rumah Adi hanya berjarak setengah jam perjalanan dengan berjalan kaki dari
Hutan Kota, maka jadilah rumah Adi tempat persinggahan Andra. Adi sendiri masih
tak tahu kemana tujuan mereka, ia hanya terpaksa mengikuti Andra yang katanya
ingin joging. Ketika akan sampai di Hutan Kota, Adi terhenti, dari kejauhan ia
lihat ramai-ramai anak-anak SMA. “Kau lihat kan Di? Itu tujuan kita”. Seraya
Andra menambah cepat langkahnya. “Oi pelan dikit napa!” seru Adi sambil berlari
mengejar Andra.
Sesampainya di Hutan Kota mereka telah
melihat puluhan remaja tanggung menatap ke satu tempat, tempat dimana ARG telah
duduk menanti Ryo Anggara yang belum hadir saat itu. “Di, ayo kita cari tempat
yang cukup tinggi biar bisa melihat semuanya dengan jelas”. “Tempat tinggi?”
tanya Adi. “Iya di”. “Pohon yang tinggi”. Mendengar jawaban itu dengan
mengerinyitkan dahi Andra menatap Adi “Hmmm ... Ide mu boleh juga”. Selang
beberapa saat mereka telah asik menatap sekeliling dari sebuah pohon yang cukup
tinggi. “Posisi yang bagus kan Di?”. “Lumayan, tapi ini ada apa?”. “Ada pertarungan
besar Di”. Seru Andra bersemangat. “Kau lihat orang yang tengah berdiri
ditengah-tengah itu?”. Adi menatap ke arah telunjuk Andra. “Dia itu Ari Rahman
Gunaryo, calon ketua baru dari geng motor terbesar “Kota Ini” akan bertarung
dengan Ryo Anggara, ketua-nya sendiri yang akan pensiun”. “Ryo Anggara?. “Iya,
Ryo Anggara, kenapa, kau kenal?”. “Ah tidak Ndra”. “Ramai sekali ya, jadi ingat
masa lalu” sahut Adi tanpa sadar. “Iya, eh kau ngomong apa barusan Di?”.
“Enggak, nggak ada. Eh ada yang datang Ndra!”. “Ryo datang!”.
Ryo Anggara datang. Ia melangkah
pasti menuju “panggung” tempat dia akan beraksi. Suasana hening, aura dan
wibawa seorang ketua meliputi suasana sekitarnya. “Kau datang, ketua”. Sahut
ARG. “Tidak usah basa basi Ri, kita langsung saja”. “Sebentar deh, kalian
jangan terlalu bernafsu” seseorang muncul dari tengah kerumunan. “Sebuah duel
harus ada wasitnya, dan wasit mesti dari pihak netral kan? Bagaimana menurut
kalian semua penonton?” seru orang itu. Semua orang berteriak mengiyakan.
“Boleh juga Ndan, bagaimana menurutmu Ri?. “Baiklah ketua, itu tidak masalah”.
“Bagus kalau begitu, aku Hamdan Dullah akan memimpin duel ini”. Hamdan mencoba
menjadi saksi dari era-nya yang akan berakhir. “Baiklah, siap, mulai!!!”. Batas
telah dilepaskan, duel telah dimulaikan. “Jangan menahan diri ketua”. “Kau juga
Ri”. Dan keduanya mulai saling serang satu sama lain. Pukulan demi pukulan
telah beberapa kali dilayangkan, silih berganti menyentuh sasaran dan tak
sedikit pula yang hanya menyentuh angin.
“Dari sekian banyak manusia di tempat
ini, ternyata ada dua ekor monyet yang ikut nonton ya?” sebuah suara yang tak
asing mengusik kesenangan Adi dan Andra. Dengan kesal Andra yang terbawa suasana
panas menghardik suara itu “Bacot oi!”. Dan seketika itu juga Andra justru
kaget bercampur takut ketika suara itu adalah suara Adri. “Eh, Adri, ha ha hai
Dri”. Andra melunak. “Oi Dri, naik yok, ada tempat kosong nih”. Tanpa menunggu
jawaban Adri telah naik dan ikut menikmati pertarungan dari ketinggian. Sebuah
pukulan keras mendarat di wajah ARG, pukulan yang amat keras. ARG roboh, ia
terlentang dengan nafas tersengal. Duel telah berjalan sekitar 10 menit, dan
ARG akhirnya terkena pukulan keras. Penonton riuh dan suasana bertambah panas,
ARG kembali berdiri, ia menyeka darah diwajahnya. Dan suara penonton bertambah
riuh lagi, dan lagi.
“Hei Dri, mumpung kau disini, aku
akan memberimu info soal orang-orang kuat yang akan memulai era baru, mereka
semua berkumpul disini lo”. Seperti biasa, Andra muncul dengan
informasi-informasi dunia hitamnya. “Heh, sepertinya menarik, tunjukkan Ndra”. Adi
hanya geleng-geleng kepala, cuma ini yang membuat dia bersemangat ternyata
gumam Adi. “Dengarkan dan ingat baik-baik Dri:
Saat itu hutan kota amat ramai, yang
datang tak sekedar orang-orang biasa. Banyak anak-anak yang tergolong kuat di
generasi mereka yang ikut menonton duel tersebut. Hampir semua sosok potensial
dari “Kota Ini” hadir menyaksikan duel, hampir semua dari sudut kota mereka
berdatangan. “Kota Ini” terdiri dari sembilan SMA Negeri, dua STM dan satu SMA
Swasta, artinya ada 12 kekuatan dan kekuasaan di “Kota Ini”, itu belum termasuk
dengan geng-geng yang dibentuk bukan karena latar belakang pendidikan seperti
Sevenars, Black City, dan banyak lagi geng yang tidak diketahui. Kali ini, aku
hanya akan menjelaskan orang-orang kuat yang aku kenal saja, susah untuk
menunjukkan siapa mereka karena mereka tidak memakai seragam sekolah. Oke, kita
mulai, pertama-tama dari Sevenars, ARG adalah ketua mereka setelah ini tidak
peduli kalah atau menang dia dalam duel ini.”
“Jadi, siapa orang kuat di Sevenars
yang anggota baru?” tanya Adri. “Belum ada Dri, belum terlihat karena mereka
baru akan memulai era meskipun sudah ada nama-nama baru seperti Toif Sudana dan
Firdaus, tapi potensi untuk calon ketua belum terlihat”. Adri mengamati sosok
yang disebutkan Andra. Andra terus berkeliling mengamati duel yang bertambah
panas. Kali ini sebuah tinju ARG tepat bersarang di perut Ryo. Ryo langsung
membalas tanpa memberi nafas ARG, belum ada tanda bahwa duel akan berakhir, dan
penonton semakin ramai. “Ternyata kau sudah bertambah kuat ARG, berbeda sekali
saat duel kita dahulu, aku bakal susah nih kalau duel lagi dengan mu”. Sungut
Arainan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Nah, yang itu, yang garuk-garuk
kepala itu adalah monster dari sekolah kita, Arainan”. Mendengar nama itu, Adri
langsung mengalihkan pandangannya pada sosok kriting elegan yang tengah
garuk-garuk kepala tersebut. Sesaat Adri merasa bahwa ia tak yakin dengan
kata-kata Andra, namun Andra tak pernah salah tentang hal seperti ini. “Aku
tidak percaya, orang seperti itu adalah orang kuat di sekolah kita”. “Dia itu
playboy, aku tak suka dia” sungut Andra. Adi tertawa tawa menanggapi komentar
Andra. “Terus” ujar Adri.
“Ah iya, itu rombongan SMA 9 Di, itu
jaket kebanggaan mereka” sambil Andra menunjuk pada tiga orang yang asyik
menyaksikan duel dengan berteduh dibawah pohon. “Mana? Cuma satu orang yang
pakai jaket Ndra”. “Iya Dri, yang pakai jaket dengan rambut acak-acakan itu Leo
Soedirman, kelas I, kuat juga”. “Cuma satu anak kelas satunya?”. “Iya, sisanya
senior, yang rambut panjang itu orang terkuat di SMA 9, kelas III, Ramdani,
salah satu best ten “Kota Ini””.
“Yang satunya lagi”. “Nggak tahu, nggak kenal, tapi pasti orang kuat juga kalau
dia ada disini”. “Itu Sena, Sena Abdi Negara, anak kelas dua dan orang yang
akan memimpin SMA 9 setelah si Ramdani tamat” tetiba dari bawah suara yang tak
asing menjawab pertanyaan Adri. Andra dan Adri terkaget sambil mencari arah
suara tersebut. “Hehe, ternyata ada adik-adik ku tersayang dari SMA 4 disini”
saat itu Arainan dengan senyumnya menghampiri Adri dkk.
Sesaat setelah “menyapa” Adri dkk
Arainan berjalan pergi, keluar dari Hutan Kota. “Eh, senior mau kemana?” tanya
Andra. “Pulang toh, aku sudah selesai dengan urusan ku disini” Arainan tetap
berlalu sambil melambaikan tangannya. “Hehe, jadi aku akan bertarung juga
dengan orang itu suatu saat nanti ya” saat itu ekspresi Adri sangat jahat di
tambah seringainya. Dasar barbar seru Adi dalam hati. “Kau mau aku lanjutkan atau
tidak?”. “Oke!”. “Itu, tiga orang yang mirip-mirip itu, mereka bertiga adalah
tiga bersaudara yang menguasai SMA 1, hebatnya lagi mereka bertiga tersusun
dari kelas III, II dan I”. “Jadi, siapa yang kakak dan adik?” kali ini Adi yang
bertanya. “Hehe aku tidak ingat, hanya yang aku tahu mereka bertiga yang megang
SMA 1”. Adri sibuk memandang dan mengingat tiga bersaudara tersebut.
“Next, SMA 2, sekolah yang punya
tradisi unik, selalu ada angkatan yang kosong orang kuat setiap dua tahun
sekali, jadi orang kuat mereka itu adalah anak kelas dua, si Makmur Rahmat yang
itu, yang tampangnya ramah dan selalu tersenyum itu” sambil Andra
menunjuk-nunjuk kearah mereka bertiga. “Dan yang kelas satunya ada “Ding
Brothers” Koding Pratama dan Oding Syarif, kakak beradik kembar dan sudah
terkenal sejak SMP diwilayah selatan perbatasan “Kota Ini”. Kok banyak yang
bersaudara ya gumam Adi dalam hati lagi, dan Adri, fokus pada wajah target.
“Wah, SMA 3 sepertinya tidak ada yang datang selain anak bertopi sebo itu loh,
si Abdurrahman “Dude” Mukhlas, kelas satu dan kuat”. “Yang itu mudah dikenali
Dri, soalnya dia selalu pakai sebo aneh itu”. Hooooo panjang dari Adri. “Kau
lihat orang yang baru datang itu Dri? Anak itu dari STM 2, lone rider Raiz Aditya dan baru kelas satu, satu-satunya anak STM 2
yang hadir karena STM 2 punya citra buruk, sama dengan generasi kelas dua
sekolah kita”. Adi cukup lama menatap sosok Raiz, ada kesan tersendiri tentang
Raiz dari Adri, kesan bahwa akan ada kisah panjang antara mereka.
“Kalau di SMA 5, merekalah
orang-orangnya Dri, Irsyad Hadirahman si bos dari kelas III, Kusuma Teza the next boss, dan Arief serta Ezra
sebagai anak kelas satu terkuat disana”. “Kekuatan yang menakutkan karena
reputasi anak kelas satu berdua itu menakutkan saat SMP dulu di wilayah Timur
Kota Ini”. Rasanya biasa saja komen Adi dalam hati lagi. “Nah, itu, mereka
hampir selesai tuh” tunjuk Andra ke arah arena duel. ARG dan Ryo telah hampir
sampai batas. Mereka sempoyongan. Tiba-tiba tinju ARG melayang ke arah Ryo,
nyaris karena Ryo bisa menghindarinya. Sial bagi ARG, tinjunya yang meleset
membuat pertahanannya terbuka, tendangan keras kaki kanan Ryo masuk ke pinggang
kiri ARG, bertubi, kali ini tinju keras Ryo kembali menyapa wajah ARG, kembali
terhempas ARG ke tanah. Suasana hening menanti reaksi ARG. Semua wajah penonton
tegang. ARG masih diam. “Wah, habis deh, ceritamu belum selesai Ndra” ucap
Adri. “Belum Dri, belum selesai”. Tiba-tiba ARG telah berdiri kembali, denga
susah payah dan sempoyongan. Hamdan mendekati ARG “Kau yakin masih ingin lanjut
Ri?” Tak ada jawaban, tangan ARG menepis Hamdan sehingga ia terpinggir. ARG
berjalan ... langkahnya bertambah cepat ... ia berlari menyongsong Ryo,
tinjunya terkepal, melayang menuju Ryo, sesaat sebelum tinju ARG menyentuh Ryo,
ARG terhenti, kemudian roboh, sedang Ryo, tinjunya sekali lagi menghantam ARG,
tepat pada bagian tengah perut dengan posisi sedikit menunduk. ARG pingsan,
Hamdan mengumumkan pemenang, orang-orang bergemuruh, suasana ramai, Sevenars
berlarian menghampiri dua anggotanya, suasana saat itu benar-benar kontras
antara penonton, Sevenars, dan para petarung yang masanya yang akan habis waktu
itu.
...
Pantai, sore hari.
Eri dan Adi tengah sibuk membakar
serta membolak balik jagung diatas perapian. Rencana bermain serta membakar
jagung yang telah mereka rencanakan beberapa hari lalu terwujud juga, dan
diluar dugaan bahwa Adri mau datang dengan peralatan memanggang yang lengkap
sesuai perjanjian. Angin pantai sore itu terasa sejuk, panas terabaikan oleh
sejuknya. Mereka berempat menikmati suasana pantai sambil tetap dengan kerjanya
menjadikan sebuah pohon besar sebagai tempat berteduh. “Kau yakin jagung
sebanyak ini akan habis Di” Eri masih tak percaya dengan banyak jagung yang
mereka beli. Adi dan Andra yang membeli jagung di Pasar setelah menyaksikan
duel pagi tadi. Adri memberi sumbangan dana yang cukup banyak saat itu dan
permintaannya uang itu dipakai untuk membali jagung, iya demikian. “Tidak harus
dihabiskan sekarang kan, sisanya disimpan saja dan pakai lagi nanti”. “Heh,
memang tahan Di?”. “Entahlah” Adi hanya menggeleng. “Hemmmmm, mana si Adri
banyak bawa makanan kecil lagi”. Eri masih mengelaurkan unek-uneknya sedangkan
Adi hanya mendengarkan.
“Aku masih tidak percaya kau datang
Dri”. Saat itu Andra dan Adri tengah membicarakan hal yang tadi terputus saat
di Hutan Kota. “Bawa semua yang Eri tugaskan padamu lagi, diluar dugaan loh”. Adri
menjawab dengan malas “Daripada dia terus menerorku saat disekolah nanti,
daripada membahas itu, lebih baik kau lanjutkan soal orang-orang kuat yang tadi
datang ke Hutan Kota”. “Kau bodoh ya, aku tidak ingatlah, sebanyak itu manusia
yang berkumpul”. Adri menoleh tajam ke arah Andra, Andra mengalihkan
pandangannya, ngeri. “Sebaiknya aku beritahu saja kepadamu nama-namanya, biar
nanti kalau kau bertemu mereka, kau bisa tahu”. “Boleh juga, ayo sebutkan!”
Adri bersemangat. Andra mengerinyitkan dahi “Kau yakin Dri?”. “Ya, aku yakin!. “Maksudku,
apa kau tidak akan mencatat nama mereka satu persatu karena akan susah jika
hanya mengingat nama tanpa melihat wajah Dri”. “Hehe, ingatanku kuat, aku
bahkan masih ingat nama-nama yang kau sebutkan pada ku tadi pagi lo”. Andra
masih mengerinyitkan dahinya, kali ini lebih tajam. Adri menghela nafas
panjang, kemudia baru ia mulai melanjutkan kisah yang tadi tertunda. “Yaaah,
kalau kau bilang gitu, apa lagi”. “Mulai dari SMA 6, yang terkuat di kelas III
itu Reyhan Armando, tampangnya agak bule, tapi kumisan, dia terlihat lebih tua
dari usianya”. “Kalau untuk kelas II, ada pria flamboyan yang akan menjadi the next boss, Syafran Tri S. S ini
masih misteri apa kepanjangannya”. “Ada yang bilang itu nama ayahnya, karena
khawatir nama ayahnya akan jadi bahan ejekan, maka S itu selalu disembunyikan”.
“Aku tak tanya soal itu Ndra”. “Eh iya iya, selanjutnya SMA 7, ada ...”. Belum
selesai Andra bicara Adri telah memotongnya, tentu saja karena Adri telah tahu
semua seluk beluk SMA 7 dari Hamdan. “Bilang dong kalau sudah tahu”. “Cuma itu
yang aku tahu” jawab Adri. “Tunggu dulu, SMA 6 tadi tidak ada anak kelas
satunya yang kuat?”. “Tidak, sampai saat ini belum ada yang terlihat”. Andra
melanjutkan “SMA delapan sebenarnya tidak terlalu masuk dalam hitungan loh,
hanya tahun ini ada anak berbahaya dari SMP 3 yang masuk kesana”. “Dzaenuri
Roesli, orang yang merajai SMP 3 dan cukup terkenal di Utara Kota Ini”. “ Dan
ini dua berbahaya, STM I dan SMA Swasta Harapan Bangsa”. “Dua sekolah yang
selalu bersaing. Di STM I ada Bagas Hardi, Indranto Mera dan Timothi “Timo”
Lesa yang mengendalikan anak-anak kelas II, sedangkan kelas satu ada Rangga
Iswara dan Tivo Rizaldi yang megang kekuasaan”. “Kelas III nggak ada juga nih
Ndra?”. “Nggak, di STM I peraturannya kelas III artinya pensiun dari dunia
hitam, jadi kelas II lah waktu jaya mereka”. “Waktu yang pendek” sahut Adri. “Kalau
SMA Harba sih normal saja, kelas III ada Trisno S.P, kelas II ada Rokin Dana
dan kelas I ada Ronald Kaspa serta Septian Arya”. “Mereka orang-orang kuat yang
telah muncul atau telah diketahui selama ini, mungkin juga masih ada
orang-orang kuat yang belum menampakkan diri kan, jadi selalu ada kemungkinan
ada langit di atas langit. Adri hanya terdiam mendengarkan penjelasan itu.
“Kalian berdua mau sampai kapan
berduaan saja seperti orang pacaran, jagungnya sudah masak tuh”. Adi
menghampiri mereka. Sejenak kemudian mereka telah asik menikmati jagung yang
terlihat menggoda itu. Langit sore itu semakin memerah, lazuardi senja semakin
pekat dan matahari makin lama makin bersembunyi sehingga langit senja yang
kemudian menyapa amat manis. Sedangkan ke-empat anak itu amat asik menikmati
sunset senja bersama makanan yang mereka bawa. “Waaah, jarang aku melihat
Sunset seindah ini” Seru Eri takjub. “Ya, bolehlah” sahut Andra. Sedang Adri
dan Adi hanya diam menikmati. “Sering-sering ya kita kesini” Eri amat senang
nampaknya hari itu, dan matahari telah selesai dengan tugasnya di belahan bumi
yang anak-anak itu nikmati.
...
Minggu-minggu ujian berjalan di SMA
4. Semua siswa nampak sibuk menghadapi musuh abadinya tersebut. Guru-guru pun
sibuk mempersiapkan berbagai macam hal guna mensukseskan agenda wajib dalam
menilai kompetensi siswa tersebut, jangan sampai ada kesalahan, jangan sampai
ada pelanggaran. Baik Adi, Adri, Eri dan Andra, minggu-minggu sibuk telah
membuat mereka fokus terhadap diri masing-masing, kecuali Adri yang selalu
keluar lebih cepat saat ujian, Adri terlihat amat santai menghadapi ujian ini,
atau memang selalu begitu.
Hari itu adalah hari ujian terakhir. Ekspresi
bahagia terpancar dari siswa-siswi SMA 4, tak terkecuali Adi, Andra, Adri, dan
Eri. Mereka berempat hari itu berkumpul bersama. Telah berjanji akan
menghabiskan sore bersama di pantai, kebetulan Adi hari itu boleh membawa
sepeda motor ke sekolah, jadilah mereka berempat berkeliling sebelum akhirnya
menikmati pantai dan senja.
...
Ujian telah berlalu. Anwar Faisal
amat gusar hari itu. Ia berputar-putar mengelilingi sekolah, mencari sesuatu. “Sial!
Kemana bocah itu, apa dia sudah kabur” sepanjang jalan ia menggerutu. Rupanya Anwar
sangat ingin menyelesaikan urusannya dengan Adri, dendam harus dituntaskan,
begitula pikirnya. Anwar yang tidak fokus tiba-tiba menabrak seseorang, Anwar
terpental meski ia yang menabrak, dengan emosi ia menatap orang yang ia tabrak
tadi, yang ternyata masih berdiri tegak dan juga balik menatap Anwar. “Kau, kau
ketua Redstars kan, masih belum sembuh rupanya”. Orang yang ditabrak Anwar itu
ialah Randi, kelas I, orang yang menjenguk Baron sewaktu di Rumah Sakit. “Kau,
anak kelas satu kan? Sial, anak kelas satu sekarang suka sekali membuat kesal
ya”. Anwar berdiri, melanjutkan jalannya sambil menyinggung badan Randi, meski
sekali lagi Anwar yang terlempar sedang Randi tetap kokoh.
Randi tak peduli, ia tetap jalan. Rasanya
ketua Redstars tidak sekuat yang aku bayangkan, begitulah yang dipikirkan Randi
saat itu. “Hoi nak, kenapa kau tersenyum begitu” Randi melihat kearah suara
itu, wajah dengan senyum khas dan rambut keriting elegan, itulah pertemuan
pertama antara Arainan dan Randi, awal dari pertemuan dengan kisah yang akan
panjang. “Heh, apaan tampangmu itu senior, bikin muak saja”. Dan Randi terus
berlalu. Arainan yang semula tersenyum kini wajahnya menampakkan raut datar,
aura menakutkan muncul disekilingnya, Randi juga merasakan aura tersebut dan
ketika ia melihat ke arah Araianan, Arainan telah hilang.
Duaagh!!!, suara dinding kamar mandi
yang dihantam tinju Arainan. Arainan ternyata melampiaskan emosinya pada
dinding kamar mandi. Tatapnya tajam. Pikirnya, jika tadi ia tak bisa
mengendalikan diri mungkin anak kelas satu tadi telah habis ia hajar, dan
artinya batas pelanggarannya disekolah telah mencapai klimaks dan ia akan di
D.O. Arianan selama ini telah menahan diri karena ia telah dapat peringatan
keras dari pihak sekolah. Dan artinya, dia harus banyak-banyak bersabar. “Aku
harus bisa selalu menghindar dari perkelahian disekolah” begitulah Arainan. “Hei,
kau senior yang di Hutan Kota kan?”. Waktu itu Arainan kembali bertemu siswa
kelas satu. “Oh salah satu anak monyet kemaren ya?”. “Ya senior, jangan bicara
seperti itu, aku tahu kau kuat, bisa mengalahkan salah satu dua orang kaut di
sekolah ini”. “Kau, siapa namamu?”. “Aku Adri Ramdan, salam kenal senior”. “Suatu
saat aku akan menantangmu juga senior, sama seperti yang terjadi dengan ARG dan
Ryo Anggara”. Dan kali ini Adri yang berlalu sambil meniru gaya Arainan sewaktu
di Hutan Kota dulu.
Duagh!!! Itu tinju kedua yang
didaratkan Arainan ke dinding. “Sombong sekali bocah-bocah baru sekolah ini!
Sial! Sial!, mereka beruntung aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa disekolah,
jika tidak, eh tunggu dulu, sepertinya dua orang yang aku temui tadi tidak
biasa, hmmm, mungkin ini akan menarik,hehehe”. Setelah tadi emosi yang meluap,
kini justru tawa yang membuat merinding dari Arainan, entahlah, apa yang ia
rencanakan ...
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar