Selamat! seminar hasilnya sukses ya,
Maaf tidak bisa datang karena harus
melakukan wawancara pagi ini. Cieee
Sarjana :)
Pesan singkat dari mu,
sahabatku siang ini adalah apa yang paling aku tunggu-tunggu sepanjang hari
ini. Tanpa aku sadari, senyum bahagia telah mewarnai wajahku. Ada banyak
pikiran-pikiran yang merasuki kepala-ku, aku akan diwisuda bulan depan. Aku akan
kembali ke kampung, dan akan lama bisa bertemu denganmu lagi? Bagaimana jika
aku mendapat pekerjaan di kota lain? Di provinsi lain? Pertanyaan-demi
pertanyaan terus memasuki otak-ku, dan sepertinya aku mulai khawatir dengan
fakta kelulusan ini, aku takut jauh darimu sahabatku, hatiku.
Terlalu
memikirkan hal-hal yang tak pasti membuatku mengabaikan pesan darimu, Affran,
sahabatku. Aku, Shatia Putri, telah lama mengenalnya, Affran Putra. Kami tak
sekedar teman, setidaknya itu yang aku rasakan. Mengenalnya sejak awal kuliah,
pada pembagian kelompok sebuah tugas mata kuliah, saat aku salah menuliskan
namanya, jujur saja, karena aku agak malas karena namanya yang hanya dua suku
kata yang sama dengan namaku, dan nama panjang yang ternyata sangat mirip
membuat aku tanpa sadar telah menulis namanya menjadi “Affran Putri”. Dia yang
kaget dengan perubahan namanya serta merta memprotes kepada teman-teman sekelompok
karena memang dia tidak tahu siapa yang mencatat list nama-nama anggota
kelompok.
“Itu
Shatia yang buat, ngomong sana”. Saat itu Anggun yang memberitahunya.
Seandainya Anggun tidak
memberitahu Affran, mungkin kisahku dan dia saat ini akan berbeda. Setelah tahu,
dia dengan santainya berteriak memanggil namaku.
“Shatia, mana orangnya?”
Aku menoleh kearah suara
itu, dan yah, saat itulah dia yang berdiri cukup jauh mendatangiku. Setelah dekat,
aku merasakan suatu yang berbeda. Saat dia telah berdiri mantap dihadapanku,
saat kedua mataku tepat menatap matanya yang hitam kecoklatan, tepat saat itu
duniaku seakan berhenti, bising kelas karena pembagian kelompok menjadi sunyi
diotakku. Dan entah kenapa, dia juga diam selama itu, selama aku juga diam. Pada
akhirnya, suara cemprengnya itu yang mengembalikan suasana bising dan memutar
kembali roda kehidupan diotakku.
“Shatia Putri, hem”
sambil menghembuskan nafas ia menyebutkan namaku sembari melihat catatan nama-nama
anggota kelompok.
“ Namaku Affran Putra,
bukan Affran Putri, Cuma namamu yang pakai kata putri, tolong dibenarkan
yaaaa”.
“Eh, iya iya maaf, aku
salah, maaf ya Affran, maaf”.
“Ya, tidak masalah”
Dia tersenyum saat itu
kepadaku, setelahnya hanya punggungnya yang bisa aku lihat ketika ia kembali ke
tempat duduknya. Satu hal yang membuat aku heran, aku meminta maaf kepadanya,
bukan sebuah kebiasaan buatku meminta maaf terhadap hal yang seperti itu, tapi
hari aneh ini masih belum berakhir ternyata, setidaknya itu terjadi lagi usai
kuliah bubar.
“Affran, aku minta maaf
soal yang dikelas tadi ya”.
Itu adalah permintaan
maaf yang kedua dalam satu hari dari ku kepada orang yang sama. Tapi sungguh,
aku sangat serius dalam hal ini. Dan dia, terlihat heran dengan sikapku, dengan
mengerinyitkan dahi, dengan tersenyum dia meng-iya-kan maaf ku. Dan lagi,
setelah itu yang aku lihat adalah punggungnya saja sampai akhirnya ia
menghilang.
Terima kasih, kamu segera nyusul
ya!
Jangan lama-lama, nanti aku di
ambil
orang ;p.
Aku membalas pesannya,
seperti biasa, hari-hari kami adalah hari-hari menyenangkan dengan penuh canda
tawa. Aku tidak tahu pasti kapan, tapi sejak aku mengenalnya, sedikit demi
sedikit kami mulai dekat. Perlahan, semester ke semester kami semakin dekat. Hanya
sebatas itu, baik aku maupun dia, tidak sedikitpun pernah membahas tentang
perasaan, tentang cinta. Dan entah kenapa, kami merasa begitu bahagia satu sama
lain dengan keadaan ini, namun bukan berarti kami tak pernah ada masalah, itu
tidak mungkin, apalagi untuk hubungan yang telah lebih dari setahun. Hubungan persahabatan.
Hei,
besok sibuk?
Pergi
yuk?
Kembali datang pesan
darinya.
Pernah
suatu ketika, aku marah kepadanya, marah tapi tidak bisa mengungkapkannya. Waktu
itu aku tengah pergi belanja ke pasar. Sedang asik menikmati pemandangan dari
angkot, tanpa sengaja aku melihat dia sedang makan bersama disebuah kafe dengan
seseorang yang aku ketahui bernama Rati Intan Sofia. Rati Intan Sofia memang
bukan nama asing bagiku, terlebih aku sering mendengar jika Affran sering
diperolok-olok oleh teman-teman di kelas bahwa memiliki hubungan dengannya. Meskipun
itu hanya bercanda, terkadang itu menyakitkan bagiku, meski begitu, aku mesti
ikut tertawa juga bersama teman-teman kan? Soalnya akan terbaca sekali hatiku
olehmu Affran jika aku terlihat tidak senang. Begitulah rasanya ketika menyukai
seseorang, terlebih jika dia dekat denganmu, ketika kau merasa terluka, ketika
ingin marah, bahkan kau tidak bisa, kau tak berhak karena kau bukan siapa-siapa
selain teman.
Kemana?
Memang besok
kamu
kosong?
Aku
yang sempat memutuskan kontak dan membatasi hubungan dengannya pada akhirnya
menyesal juga. Tapi syukurlah ketika keadaan membaik, maksudku ketika Rati
ternyata telah berpacaran dengan orang lain, bagiku itu kabar gembira. Setelah itu
komunikasi kami kembali membaik, maaf ya Affran, aku egois sekali waktu itu,
itu karena kamu sepertinya tidak merasakan perasaanku terhadapmu. Pada akhirnya
aku tahu juga bahwa kau tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Rati. Meski begitu,selama
ini Rati berhasil membuat aku cemburu. Untungnya kamu itu laki-laki yang mau
memaafkan setiap kesalahanku. Aku pasti akan selalu tersenyum jika mengingat
peristiwa-peristiwa dulu.
Keliling-keliling
aja, toh
bulan
depan kamu wisuda.
dan
setelahnya, kamu belum
tentu
akan tetap di kota ini
Sebenarnya,
jika denganmu, aku mau pergi ke mana pun tanpa perlu berbagai alasan. Sungguh! Soal
cemburu, aku sempat cemburu dengan sahabatku sendiri karena mu. Kau memang
terlihat mudah untuk dekat dengan perempuan ya, aku sendiri heran. Kadang menjengkelkan
sekali melihat mu sangat akrab dengan Arin, teman akrabku, tapi syukurlah
ternyata saat aku mendengar bahwa Arin telah berpacaran, itu bukan denganmu. Yang
lebih membuat bahagia adalah bahwa Arin mendukung sekali aku denganmu,
entahlah, aku tidak tahu apa yang telah kamu dan Arin bicarakan tentangku, tapi
aku senang ketika Arin mendoakan aku dan kamu.
Oke,
besok jam 2 ya Tia
Pesan darimu datang lagi,
kau memutuskan sendiri rupanya, pasti kau merindukan aku kan? Hehe
Oke,
jam 2 Ran :)
Kau
menjemputku ke kost, seperti biasa. Hari ini terlalu panas, aku sedikit tidak
senang dengan rencanamu hari ini. Setidaknya sebelum kita sampai di bioskop,
kau mengajakku menonton rupanya, kamu tahu ternyata jika aku perlu menghibur
diri. Entah perasaan apa yang ada dikepala masing-masing saat sedang menonton,
tapi kau terlalu banyak diam hari ini. Ini bukan kali pertama kita menonton,
dan hampir sepanjang film kau diam, fokus pada film dan ini tidak biasa.
Kediamanmu
saat menonton rupanya hanya kekhawatiran ku saja, toh setelai selesai menonton,
ketika telah sampai di pantai, suasana kembali seperti semula. Ini kota pantai,
dan kau bilang kalau hari ini sangat cerah, cocok sekali untuk melihat sunset.
“Kamu
sudah menyiapkan daftar kunjungan hari ini, Ran? hehe”
Aku menggodanya seperti
biasa. Dia tidak menjawab, dia menolehku sambil tersenyum. Senyum yang selalu
aku sukai.
“Tidak, aku hanya melihat peluang, mungkin setelah ini
kita pulang”.
“Pulang? Cepat sekali, sejak kapan kamu pulang cepat? Ajaib
sekali”
“Tuan Putri tidak boleh pulang terlalu malam, soalnya
tetangga selalu berisik”
“eeeeh,
nggak asik ah”
Aku
tidak terima, jujur saja. Meski dekat, tapi pergi berdua dan menghabiskan hari
bersama itu adalah hal yang jarang. Dia masih terlalu ragu untuk mengantarku
pulang terlalu malam, atau mengajak aku keluar dimalam hari. Padahal, aku
berharap malam ini akan lebih lama dengannya.
Puas
bermain-main seperti anak kecil, berlari-larian, siram-siraman, waktunya
menikmati lukisan Tuhan berjudul sunset.
Waktu itu, aku berfoto berdua bersamanya, percayalah, ini foto berdua kedua
setelah foto berdua pertama dahulu adalah ketika dia selesai ujian seminar
proposalnya. Foto yang siluet, tidak masalah, aku menyukainya terlebih
keindahan langit senja dengan hiasan lazuardi. Aku ingin seperti ini setiap
harinya, menghabiskan senja bersama, meluapkan perasaan masing-masing.
“Nggak
jadi pulang nih?”
“Hemmm,
aku lapar sih, jadi kita makan dulu disini”
Setelah
bermandikan cahaya senja, Affran mengajakku makan. Agak tidak biasa, ini tempat
makan elit bagi mahasiswa. Aku berani taruhan kalau Affran sendiri belum pernah
makan disini.
“Kamu
yakin makan disini, Ran?”
“Yakinlah,
kan udah dipesan”
“hehehe”
“Kenapa?
Aku yang traktir”.
“Heeh,
kok traktir? Bayar sendiri-sendiri aja”.
“Aku
traktir, sebagai ucapan selamat dan perayaan atas suksesnya ujian seminar hasil
Tia”.
“Ih,
kan bisa nanti-nanti, atau pas selesai aku wisuda. Kalau aku selesai wisuda,
aku yang traktir
kamu”.
“hehe,
nggak apa-apa, takutnya nanti nggak sempat”
“heeeeem,
ya sudahlah”
Hari
itu, ditutup dengan dia mengantarkan aku kembali pulang ke kos dengan tiada
kurang suatu apapun melainkan bertambah berat badan seikit dan banyak rasa
bahagia. Kapan kita jadi sepasang kekasih Ran?
...
Seminggu
setelah hari itu. Aku telah berada dikampung, pulang bertemu dengan orang tua. Aku
adalah satu dari sekian mahasiswa yang merantau demi menuntut ilmu. Hari ini aku sangat khawatir dengan Affran, sore tadi gempa bumi besar mengguncang kota
dimana ia berada. Berita menyiarkan bahwa gempa besar telah menghancurkan
banyak gedung, rumah, dan berbagai bangunan lainnya. Diperkirakan ada banyak
korban baik yang meninggal maupun yang terluka. Itu wajar, mengingat getarannya
sangat kuat terasa hingga kampungku ini. Dan Affran, tiada kabar tentangnya,
tak bisa dihubungi juga.
Malamnya,
Arin menghubungiku. Memberi kabar mengejutkan. Affran telah tiada, dia menjadi
salah satu korban tertimbun bangunan. Saat itu, ia sedang ada kegiatan disebuah
gedung, saat gempa terjadi, kegiatannya sedang berlangsung dan sangat sedikit
yang selamat disana. Berita itu melukaiku, menusuk dalam ke hati ku. Handphone
yang tergenggam ditanganku terlepas, aku seperti melayang, dunia berputar dan
semua menjadi gelap.
...
Aku
telah kembali ke kota ini. Aku bertemu dengan Arin. Dia tampak kaget melihat
kondisiku. Aku sedikit lebih kurus, terlihat murung. Arin menghampiriku, dia
memelukku. Memeluk dengan erat, aku merasakan pelukannya, ia menguatkan
kelemahan hatiku.
“Tia,
kamu pasti sedih sekali. Dibandingkan aku, kamu jauh lebih dekat dengan Affran”.
Aku
masih terdiam dalam pelukan Arin. Ada satu hal yang tak pernah aku beritahukan
kepada siapapun tentang aku dan Affran, bahkan kepada Arin sekalipun. Tentang kedekatan
kami, tentang hal-hal yang kami lakukan bersama, tak pernah ada yang tahu. Aku pun
didepan Arin, selalu bersikap biasa jika membahas tentang Affran, yah begitulah
aku.
“Tia,
tahukah kamu? Affran menyukaimu”
Aku
terdiam lagi, tapi sekali ini sekujur tubuhku bergetar, tidak bisa aku lawan. Aku
tahu itu, aku tahu kau menyukaiku Ran, aku dapat merasakannya. Hanya seringkali
aku ragu dengan perasaanku sendiri. Mendengar
hal ini dari Arin, membuat keraguanku hilang, aku, hatiku amat bahagia, namun
setelahnya, menyadari keadaan saat ini, hatiku hancur. Barulah akan bahagia,
telah pula langsung hancur ia-nya.
“Meskipun
Affran tak pernah mewasiatkan apapun, aku merasa mesti mengatakan ini padamu
Tia, bahwa selama ini Affran sangat-sangat menyukaimu. Maaf jika akhirnya ini
justru melukaimu, Tia”.
Sekali
lagi Arin mengulangi perkataannya, dengan sesenggukan menahan tangisnya. Sebagai
seorang sahabat, Arin pun pasti merasa kehilangan, itu pasti, persahabatan
mereka sangat akrab sebelum aku begitu dekat dengan Affran.
“Bagaimana
bisa aku menerima cinta dari seseorang yang telah tiada Rin?
“Bagaimana???”
Pertanyaanku
melebur bersama tangis yang semakin lebat, dan dekapan Arin semakin kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar