Jumat, 11 Mei 2012

Cerita Singkat si Pondok Tua


Cerita Singkat si Pondok Tua

Hari yang kurang bersahabat, raja siang yang dengan bangganya mencurahkan sinarnya. Panas yang memayungi dunia, debu, bising kendaraan, dan hiruk-pikuk manusia menambah semaraknya tempat ini. Di sini, di pinggir jalan berdebu dan bising oleh nyanyian kendaraan yang berlalu lalang, sebuah pondok kecil tak terpakai namun tetap kokoh. Tempat yang mubazir jika hanya dibiarkan begitu saja, harus dimanfaatkan. Entah untuk apa? Sekedar duduk, numpang tidur, nunggu angkot atau sejenisnya? Entahlah, itu terserah mereka.
            Namun lain halnya dengan Ican dan Andi, tempat itu merupakan homebase bagi mereka. Dua orang yang telah bersahabat sejak SMP dan kini mereka telah duduk di bangku SMA kelas 3. Dua orang dengan karakter yang sangat berbeda, namun perbedaan itulah yang mengakrabkan mereka. Kemanapun pergi selalu bersama-sama, bisa dibilang di mana ada Ican, di sana ada Andi.
            Kini, itu semua hanyalah cerita dulu. Mereka telah menempuh jalannya masing-masing. Semua terjadi ketika masa SMP berakhir, di mana Ican harus mengikuti keinginan orang tuanya untuk sekolah di tempat yang lebih baik di tempat lain. Lain halnya dengan Andi yang tetap melanjutkan sekolahnya di tempat ini. Meskipun begitu, persahabatan mereka tidaklah hilang walaupun jarak menghalangi.


            Setelah kepergian Ican, pondok tua di pinggir jalan itu kini tinggal begitu saja. Tak ada lagi canda tawa, umpatan serta makian dari mereka berdua yang dulu menghiasi pondok itu. Pondok tua itupun sepertinya merasa kehilangan, merindukan suara dua remaja tanggung itu, menunggu-nunggu mereka kembali, meramaikan pondok tua yang terabaikan itu. Yah, andai pondok itu bisa bicara, bisa mengungkapkan keinginannya, mungkin ia ingin itu semua kembali lagi seperti dulu.
            Hari ini seperti biasa, keadaan yang ramai akan lautan manusia, bising kendaraan yang selalu menghibur penduduk sekitar. Pemandangan yang tak pernah berubah, hanya semakin ramai, gedung semakin bertingkat, bangunan bertambah. Kota kecil ini pun tak luput dari dampak globalisai dan teknologi yang merambat begitu cepat dalam kehidupan masyarakat yang dulu lugu ini. Kemajuan yang pesat, hanya saja itu tak sedikit pun merubah keadaan pondok tua di pinggir jalan itu, ia tetap begitu, mungkin semakin rapuh karena hujan dan panas, tapi tetap berdiri. Ada desas desus bahwa pondok itu akan di robohkan, diganti dengan halte bus, mempercantik kota kecil ini. Ia pun tahu akan hal itu, memang dari awal ia tahu akan dirobohkan, hanya saja ia ingin sekali bisa melihat dua remaja itu di sini, di hadapannya, duduk dan tertawa riang, baginya itulah hiburannya.Ia pun tahu bahwa pondok tua sepertinya memang akan tersingkirkan.
            Hari yang dinanti pun datang, mereka kembali, Ican dan Andi. Angin apakah yang membawa mereka kemari? Pondok tua itu sepertinya tersenyum meskipun tak ada yang tahu. Mereka duduk di sana, tempat favorit mereka dulu. Terkihat Ican berpakaian rapi lengkap dengan tas dipunggungnya sedangkan Andi tetap dengan gaya lamanya jins hitam panjang dan jaket kulit hitam. Rupanya Ican akan berangkat ke tempat di mana ia sekolah, ia sengaja ke tempat ini. Sekedar bercerita, melepas rindu dengan tempat ini, dengan debunya, dengan nyanyian kendaraannya, tidak, mungkin semuanya, semua yang ada di sini.
            Hei  hei, coba dengar, mereka mulai bercerita, sepertinya menarik, tentang apa? Entahlah, coba dengarkan. “ Ternyata tempat ini telah banyak berubah ya, semakin ramai. Tidak seperti dua tahun lalu.” Ican memulai pembicaraan. “ Tentu saja, bodoh. Tempat ini akan lebih ramai lagi nanti, apalagi kalau kau kembalinya sudah bawa anak dan istri.” Jawab Andi setengah bercanda.
“ enak saja kau bicara, aku ke sana untuk belajar! Bukan cari istri atau anak, kalau kau mungkin iya.”
“ Huft, anak istri ya, ketinggian mikirnya Can, ngomong-ngomong soal istri, sial sekali nasib ku Can.” Ucap Andi dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“ Eh, kenapa? Apa yang salah?”
“Kau tau Helna kan?”
“Iya, pacarmu kan, ada apanya dengannya?”
“Hmmmmmmmh hufffffttt” Andi mengambil nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya.
“Dia mau nikah bentar lagi”. Andi melanjutkan ceritanya.
“Dan sialnya dia bakal nikah sama teman ku, si Agus. Katanya mereka sudah di jodohkan”.
Sesaat Ican terdiam, Ia memperhatikan dalam-dalam sahabatnya itu. Sekilas terbersit luka dari wajahnya. Ican mengerti apa yang dirasakan Andi, sebab ia pun pernah ditinggalkan oleh orang yang disayangi, hanya berbeda keadaan saja.
“Sakit ya?” Tanya Ican sedikit ragu. “ Tentu saja, bodoh! Minta dihajar ya? Balas Andi sewot.
“He he he, ternyata kau punya rasa sakit juga rupanya” sahut Ican seraya menghibur.
“Kenapa ya, baru sekarang rasanya sakit. Baru sekarang aku merasa kehilangan, benar-benar kehilangan. Apa ini yang namanya hukum karma?” ujar Andi lagi tanpa menghiraukan perkatan Ican.
“Maksud mu apa, berlebihan ah”.
“Bukannya berlebihan, Kau juga tau kan dulu aku pernah pacaran sama Nita. Aku mutusin dia tanpa ngasih alasan yang jelas”.
“Hei, bukannya kau bilang padaku kalau kau memutuskannya karena …”. Belum sempat Ican menyelesaikan kata-katanya Andi memotong ” Iya memang, tapi aku kan tidak mungkin bilang hal itu sama dia. Kau ini gila ya? Aneh-aneh saja”.
“Terus apa hubungannya dengan hukum karma, bukankah itu demi kebaikannya juga?”.
“Iya, tapi dia tidak tau kan, mungkin saja dia sakit hati denganku dan sekarang ini balasannya”.
“Hmmm, mungkin kau benar. Sepertinya saat ini kita merasakan hal yang sama”. “Hmmm, yah”.
Mereka terdiam beberapa saat sambil memandangi hilir mudik manusia di tempat itu. Pondok tua tempat mereka singgah itu pun sepertinya turut merasakan apa yang dirasakan dua remaja tanggung itu. Ingin rasanya ia menghibur keduanya, tapi itu tak mungkin. Cukup memperhatikan dan mendengarkan seperti yang sudah-sudah.
            “Hei, ada cewek cantik lewat tuh”. Ucap Ican iseng pada Andi. Andi menggeleng tidak peduli.
“Kau kenapa? Apa sudah tidak tertarik dengan cewek lagi, biasanya juga kalau ada cewek kau yang manggilkan?”. “Sudahlah, aku tidak peduli itu semua”.
“Hmmmm, cantik lo, masa gak mau?”. “Aku tidak peduli dia cantik atau tidak”.
“Trus, apa?”. “ Ini, di sini”. Jawab Andi sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Maksud mu?”. “Cantik hatinya, kalau mau cari yang cantik sih banyak, tapi yang cantik hatinya, heh, langka bung”. Ujar Andi dengan gaya yang sangat meyakinkan.
Sekali lagi Ican terdiam, kata-kata yang diucapkan sahabatnya itu membuatnya terhenyak kaget. Kata-kata yang datang dari seseorang yang notabenenya berandalan ini. Kata-kata yang sangat menyakitkan bagi Ican, kata-kata yang datangnya terlambat baginya. Kata-kata yang dibutuhkannya saat masalah sedang menerpa hubungannya dulu, penyelesaian yang salah dan berujung luka. Luka panjang yang hingga kini masih ia rasakan, andai kata-kata itu datang saat masalah itu terjadi, mungkin keadaannya tidak seperti sekarang ini. “Tret tet teeettt” sirine fuso besar yang sedang menguasai jalanan kota  menyadarkan Ican dari renungannya.
            “Oi, kau ini mau pergi atau tidak, hah? , lapar nih” ujar Andi memegangi perutnya. “Berangkat donk, mana betah aku di sini sama kamu”.
“Cepat pergi sana, siapa juga yang mau bareng sama kamu”.
“Sabar, belum ada bus. Nih, beli makanan dulu sana, bisa repot ntar kalau kamu mati di sini” ucap Ican sambil menyodorkan beberapa ribu uang. Setelah itu acara menunggu pun dihibur dengan beberapa makanan kecil.
“Tuh ada bus” ujar Andi sambil menunjuk arah datangnya bus dengan mulutnya. Bus itu berhenti tepat di depan mereka, lalu Ican menaikinya. Tersungging senyum di bibir mereka berdua.
 “Sampai jumpa lagi, kawan”.
 Bus berjalan meniggalkan Andi yang tetap memandangi dari kejauhan, perlahan bus mulai menghilang dan akhirnya tak berbekas. Andi kembali duduk di pondok tua itu, ia menyalakan sebatang rokok, kebiasaan yang jarang ia lakukan di depan Ican. “Cinta itu menyakitkan kawan, tapi tanpa cinta kau tak akan pernah tau apa itu kebahagiaa dan luka, itu bumbunya, tinggal bagaimana kau mengolahnya menjadi sesuatu yang baik”.
            Yah, mungkin itulah kebersamaan terakhir pondok tua itu dengan dua remaja tanggung itu, selalu menyisakan kesan. Hal yang selalu membuatnya rindu anak-anak itu. Tapi setelah ini tak akan lagi, besok atau lusa mungkin ia akan di gusur, regenerasi dari pemerintah untuk kemajuan kota kecil ini tak melibatkan kehadiran pondok itu. Ia tidak diperlukan lagi, akan ada penggantinya yang jauh lebih baik. Pondok itu tak pernah mempermasalahkan itu semua, apalagi keinginannya untuk berjumpa dengan due remaja itu telah tercapai. Pertemuan terakhir yang berkesan walau hanya sekejap. Selalu ada perpisahan dalam sebuah pertemuan, itu hukum alam yang tak mungkin di tolak oleh siapapun.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Negeri di Awan

Di bayang wajah mu Ku temukan kasih dan hidup Yang lama lelah aku cari Dimasa lalu Kau datang padaku Kau tawarkan Kasih hati yang tul...