Jumat, 27 Juli 2012

4, Part 1




4

       Hari ini merupakan hari pertama di SMA, setidaknya untuk kegiatan belajar mengajar karena beberapa hari sebelumnya harus mengikuti MOS yang merupakan acara “wajib” yang kesemua isinya kuanggap sangat menyebalkan. Mulai dari perkenalan, kalau perkenalan okelah, nggak masalah, itu kayaknya harus dilakukan,  tapi kegiatan lainnya? Konyol, apa perlunya membuang-buang waktu dengan membawa lusinan pernak-pernik aneh yang wajib dipakai sejak dari rumah sampai ke sekolah dan parahnya lagi, kami-kami yang mereka sebut junior ini diharuskan mendapatkan tandatangan dari mereka yang menyebut dirinya senior itu. Gila, gue paling males harus berebutan sampe harus nyanyi dan nembak cewek segala cuma untuk sebuah tanda tangan. Dan lagi, nggak ada pembelaan buat kami yang teraniaya ini, gurupun dengan bijaksana bilang kalau acara ini bagus buat kami, ajang perkenalan dan menumbuhkan rasa kebersamaan katanya. Ajang menumbuhkan rasa kebersamaan dari sisi mananya coba? Dari rasa teraniayanya sih iya, kalau yang lainnya mana ada. Malah kayaknya acara ini terlihat sebagai ladang pembantaian dan ajang balas dendam dari para senior-senior yang sepertinya sangat menikmati acara konyol ini. Dan gue yang teraniaya berharap kegiatan ini cepat berakhir.



       Istirahat pertama, aku berhasil menemukan “surga”, sebuah padang rumput hijau beratapkan langit biru yang cukup jauh dari keramaian di belakang sekolah. Menikmati langit sambil tiduran dilembutnya belaian rerumputan itu sangat menyenangkan, setidaknya untukku. Langit memang selalu menjadi pemandangan yang indah bagiku, apalagi setelah hujan turun. Kau akan melihat indahnya lukisan sederhana Tuhan yang berjudul pelangi. Sebuah kesederhanan yang indah. Tiba-tiba sekelebat bayangan menghalangi pemandangan “surga”-ku ini, sesaat aku tertegun, lalu munculah dengan jelas seseorang sambil mengulurkan tangannya kearahku.
“Hei, aku Misbahul Andra, anak X.3” kali ini ia mulai bersuara. 
Aku masih diam tak membalas uluran tangannya tersebut. Perlahan ia duduk di sampingku 
“Ternyata gossip tentangmu itu ada benarnya juga ya” ucapnya lagi dengan sunggingan senyuman ke arahku.
“Apa?” tanyaku sembari mendelik kearah orang asing itu tetap dengan posisi menikmati “surga” kecilku.
“Itu tidak penting, gue tahu kok nama loe, Adi Satryo, alumni SMP Harapan 1, mahluk penyendiri dan super cuek itu kan?” katanya dengan sangat percaya diri.
Aku masih saja diam tidak peduli dengan apa yang dikatakannya, lagu lama buatku. Aku memang sering di sebut penyendiri oleh mereka yang tak ku sukai, bukan tak ingin berteman, hanya saja pengalaman yang sudah-sudah di mana mereka yang menyebut dirinya “teman” itu hanya datang saat mereka ada keperluan saja, ketika sudah terpenuhi semua kebutuhannya, mereka pergi entah kemana. Sejak itu, aku tidak terlalu peduli dengan hal-hal munafik bernama “teman”, bagiku tak ada yang namanya teman, yang ada hanya tempat untuk memenuhi kebutuhan, tidak lebih.
“Tapi gue gak yakin dengan ocehan burung yang beredar, gue pengen buktiin kalo ocehan burung tu salah tentang loe, gue bakalan jadi teman pertama loe, gimana? Tertarik?” kali  ini sebuah kalimat persuasive yang cukup menggoda keluar dari mulutnya, setidaknya aku mulai tertarik.
“Terserah loe, semoga aja loe bisa bertahan” hanya itu jawaban yang meluncur dari mulut ku sembari berlalu menuju kelas dan diikuti oleh anak asing itu.

      Hujan lebat turun melingkupi sekolah, mengurungku dan anak-anak lain untuk tetap di wilayah kelas. Aku hanya bisa memandangi turunnya hujan  dengan bersandar pada dinding kelas dengan ditemani Andra, orang yang baru saja mendeklarasikan dirinya sebagai teman pertamaku. Ketika imajinasiku tentang hujan tengah larut, seorang laki-laki lewat dihadapanku. Aku menoleh padanya, dia orang yang namanya tak akan kulupakan saat perkenalan kemarin, Adri Rhamdan. Laki-laki dengan sorot mata tajam dan senyum sumringah khas yang identik dengan berandalan. Entah kenapa aku merasa tertarik dengan anak ini, seperti ada kesamaan antara aku dan dia. Dia menatap tajam ke arahku, senyum terpampang dari bibirnya, akupun melempar senyum padanya dan kuanggap itu sebagai sebuah “sapaan”.

     “Sialan banget ni hari, udah hujan mana becek lagi” gerutu Andra di tengah perjalanan pulang.
“Loe ngapain si mau ke rumah Rinjani segala, kurang kerjaan ya?” tanyaku dengan nada kesal mendengar keluhan Andra sepanjang jalan.
“Gue mau pinjem catatan”
“Catatan loe kemana?”
“gue gak sempet nyatat, mau pinjem catatan loe gue gak yakin sama isinya”
“terserah loe deh” ucapku menutup pembicaraan.
Ketika kami sibuk saling menggerutu satu sama lain,  tiba-tiba Andra menunjuk kesebuah tempat berumput yang tak jauh dari tempat kami berada
 “Eh Di, liat tuh, ada orang berkelahi!”.
 Ku amati tempat itu dari kejauhan, benar! Terlihat dua orang saling memukul satu sama lain. Tanpa pikir panjang aku berlari kearah tersebut. Tanah berlumpur yang kulalui sedikit menghambat langkahku, tapi dengan rasa penasaran yang memburu, aku tetap mengayunkan langkah menuju tempat dimana kedua sosok itu berada. Aku cukup terkejut ketika yang aku lihat di sana adalah sosok Adri dan seorang yang tak ku kenal. Sepertinya ia bukan siswa sekolahku. Mereka tetap melanjutkan perkelahian tanpa memperdulikan kehadiranku. Tiba-tiba anak yang menjadi lawan Adri terpental ke tanah. Adri menoleh ke arahku dengan iringan tatapan tajamnya,
“Jangan ikut campur urusanku” teriak Adri padaku
Aku membalas dengan senyuman
 “ tentu saja, aku hanya ingin menonton”
Tanpa mempedulikan jawabanku, Adri kembali melanjutkan perkelahiannya, perkelahian yang tampaknya cukup sengit, sepertinya Adri cukup jago dalam berkelahi, terlihat lawannya tak berdaya, dan selang beberapa lama, akhirnya ia jatuh. Anak itu berdiri, bukan untuk melanjutkan perkelahian melainkan pergi meninggalkan Adri dengan langkah yang diseret. Tinggalah kami berdua, dalam sunyi kami saling bertatapan. Aku tersenyum sumringah untuk kesekian kalinya.
“Kau benar-benar hobi menatap orang dengan pandangan seperti itu ya?” sebuah pertanyaan konyol muncul dari mulutku. Adri melotot menatapku, lalu ia membuang muka dan berjalan melewatiku menuju motornya. Ia kembali menatap kearahku. Ia memacu Ninjanya kemudian mulai menghilang dari pandanganku. Kali ini kulihat Andra dengan tersengal-sengal datang kearahku.
“Apa yang terjadi?” tanyanya penasaran.
“Nggak ada” jawabku singkat.
“Oi, mau kemana lagi? Baru nyampe nih”
“Ke rumah Rinjani” jawabku sambil terus berjalan tanpa memperdulikan Andra.
“Dasar nih anak, gak punya rasa kasihan apa?” gerutu Andra yang dengan terpaksa tetap mengikuti langkahku.

Bersambung …
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Negeri di Awan

Di bayang wajah mu Ku temukan kasih dan hidup Yang lama lelah aku cari Dimasa lalu Kau datang padaku Kau tawarkan Kasih hati yang tul...