Rabu, 09 Maret 2016

Sapaan Rindu




Malam menjelang, langit temaram berhiaskan kerlip bintang memasygulkan panorama malam itu. Aku duduk di kursi di depan rumah memandangi suasana malam. Memperhatikan cantiknya rembulan malam, seakan-akan ia pun memperhatikanku. Sesekali aku menghisap kretek milikku, mengobati dinginnya malam yang menusuk tulang. Selain mantel penghangat suasana, kretek ini merupakan teman penghapus sepi bagiku. Semula aku bukanlah penghisap kretek, bahkan terkesan jauh dari benda yang cukup populer dikalangan pemuda tersebut. Baru setahun ini aku dekat dangan rokok, pun sudah merasa akrab dengannya.

Malam yang cukup aneh bagiku. Suasana yang demikian tenang dengan panorama langit yang begitu mempesona membuat ku seakan berada di dunia lain. Aku tak seperti berada di Kota Langit ku yang kecil. Kota ku memang kecil, tapi jika malam datang, suasana hening dan tenang adalah hal yang langka. Memang tidak terlalu ramai layaknya kota-kota besar, namun kau tidak akan takut untuk keluar malam di Kota kecilku ini. Hampir setiap sudut akan kau temui sumber cahaya baik dari rumah-rumah penduduk maupun dari warung-warung maupun toko yang masih buka.

“Malam yang indah, meski tak biasa” gumamku sambil tetap menyeruput kenikmatan dari nikotin-nikotin kretek yang mulai menipis. Perlahan suasana dingin mulai menjalar, buru-buru ku nyalakan kretek yang baru.
“Hmmmm, sepertinya aku mulai kecanduan nikotin berasap ini” pikirku. “Kalau dulu, kau pasti bakal mengomeliku sampai bosan gara-gara berniat merokok. Tapi sekarang, aku justru terbiasa dengan lintingan-lintingan tembakau ini. Itu dulu kan, Fa”. Tiba-tiba terbersit kenangan tiga tahun lalu, kenangan saat masih bersama Farha Syifa, orang yang dulu pernah menemani hari-hariku, Ghazi Fahmi.


          Aku masih ingat saat kau ngomel-ngomel cerewet melarang niat ku untuk mengikuti teman-temanku yang sebagian sudah mulai merokok. Berhari-hari kau ngambek dan tidak mau bicara padaku hingga akhirnya aku harus berjanji padamu untuk tidak merokok. Berhasil, kau memaafkanku. Aku jadi tertawa sendiri mengingat hal itu.

“Jadi rindu”. Sesekali aku bermain-main dengan asap yang kuhembuskan. Kerlip bintang gemintang masih menari-nari seperti tadi. Ingatan pun beralih pada saat terakhir bersamamu. Saat yang tak akan pernah terlupakan dalam hidupku, bahkan ketika aku sibuk dengan nikotin sekalipun, aku tak akan bisa melupakan hari itu. Hari itu, saat dimana kau harus berjuang melawan penyakitmu, berusaha tersenyum kepada semua orang dan berkata bahwa kau baik-baik saja, itu sangat menyakitkan bagiku. Melihatmu yang sangat aku sayangi tanpa bisa melakukan apa-apa, mata yang tak kuasa menahan gelombang bening yang mengalir, aku merasa seperti orang yang paling tidak berguna saat itu, hanya bisa melihatmu.

          Leukimia, sel darah putih yang terus memakan sel-sel darah merah, itulah malaikat yang menjemputmu pulang ke tempat yang tak akan bisa aku temui, meski sekedar untuk menjenguk saja. Aku masih ingat kata-kata terakhirmu, kata-kata yang masih menghibur sepi yang sering berkunjung, rindu yang terkadang menyapa, dan senyummu yang selalu menghangatkan, lebih dari yang diberikan nikotin-nikotin berasap yang kini menjadi teman pelipur laraku.
 “Tersenyumlah dan ikhlaskan, semua akan baik-baik saja”. “Aku akan pergi jauh, kau tak perlu merindukan aku, cukup kau do’akan saja, dan jaga janjimu dulu, karena janji itu bukan sekedar untukku, tapi juga untuk mu”.
           Kata-kata yang hanya bisa kujawab dengan linangan air mata, kata-kata yang aku sendiri tak tahu apakah aku sudah mematuhinya, kata-kata yang saat ini telah aku langgar, kata-kata yang akan membuatku larut dalam kenangan terakhir itu. Aku membumbung jauh dan merasa benar-benar sendirian, perlahan bulir-bulir bening mengalir.
“Kamu nangis?”
Tiba-tiba sebuah suara menyapaku, suara lembut dan merdu yang tak asing bagiku, suara yang sejak pertama kali ku dengar hingga kini yang tak akan pernah hilang dari list suara-suara dalam memori otakku. Suara yang dulu membuat jantungku berdetak, bergerak tanpa irama, suara yang malam ini kembali membuatku berdetak, lebih kencang, suara yang ku rindukan.
Aku menatap kearah suara itu. Benar! Itu Syifa, aku seakan-akan hilang, aku merasakan bahwa duniaku kembali cerah, tak ada perasaan ganjil apapun.
“Kamu nangis, kenapa Zi?”. Kembali suara lembut Syifa menyapaku, kali ini diiringi senyuman menawan yang hanya miliknya, senyuman khas yang tak akan dimiliki oleh wanita manapun, senyuman milik wanitaku, gadisku, kekasihku.
“Eh, nggak apa-apa, aku juga nggak tahu kenapa”.
Aku tak mengerti apa yang terjadi, semua tiba-tiba menjadi sangat ganjil tapi aku tak menyadari, tidak merasakan apapun.
“Wah, kamu sudah merokok sekarang Zi? Apa karena aku nggak ada kamu jadi suka merokok.”
Syifa menatapku, mencoba mencari tahu. Aku pun seperi orang yang hilang ingatan. Aku hanya diam, tak sepatah kata pun mengalir dari bibirku.
“Apa aku menakutimu Zi? Aku hanya mampir, untuk menyapamu, aku mengkhawatirkanmu.” Terbersit sedikit kecewa diwajahnya. Aku menatap wajah itu, wajah yang memikat hatiku, wajah yang bulat seperti telur yang terlindungi oleh jilbab, wajah yang menawan hatiku, masih seperti dulu, semakin cerah. Aku masih terdiam, masih tak mengerti apa yang terjadi.
“Sepertinya kau merindukanku, terlalu merindukanku kan? Hmmm...” ucapnya lagi dengan senyum nakal kepadaku yang masih kebingungan.
“Hahaha, Aku cuma mampir sebentar, cuma mengingatkanmu, aku masih mencintai mu Ghazi, namun kamu harus ingat, tersenyumlah dan ikhlaskan, semua akan baik-baik saja, do’akan aku dan ingat janjimu”.
Aku tersentak, aku menoleh kearah Syifa yang perlahan menghilang bersama angin malam, yang tersisa hanya senyum khas dan kata-kata terakhir yang baru saja ia ucapkan, kata-kata yang dulu pernah ia ucapkan saat ... hari terakhir aku bersamanya, memegang erat tanggannya, mengantar kepergiannya selama-lamanya.
          Aku terkejut, terbangun dari tidur ku.
“Mimpi?” pikirku.

Napas ku naik turun, keringat membasahi ku. Aku meraih air putih yang biasa aku siapkan sebelum tidur di meja belajarku. Setelah sedikit tenang, aku mulai mengingat kembali mimpi yang baru saja terjadi.
“Rupanya aku merindukanmu Fa, sampai-sampai untuk meredamnya kau harus berkunjung dan menyapaku malam ini”.
Aku menarik napas panjang, sejenak tertegun.
“Aku sudah mendo’akanmu Fa, aku juga gak merokok sampai hari ini, pun nanti, meskipun aku masih sedikit susah untuk tersenyum, aku akan selalu mencobanya kok. Tapi, aku masih belum bisa melepasmu sepenuhnya, itukah yang membuatmu datang malam ini?”
Aku bertanya-tanya dalam hati meski aku tahu tak akan pernah ada jawabannya. Yah, terkadang ada pertanyaan yang tidak memiliki jawaban atau yang tak akan kita temukan jawabannya.

“Maafkan aku Fa, jika sampai hari ini masih tak bisa melepasmu. Sepertinya ini menyiksa mu di sana hingga kau harus menyisihkan waktu untuk berkunjung. Sebisa mungkin aku akan mengikhlaskanmu, karena memang selayaknya kau berada di sana tanpa beban, tanpa keberatan”.

Aku merenungi banyak hal yang telah terjadi malam itu, sebuah mimpi yang memaksaku menyusuri jejak-jejak masa lalu. Mengingat kembali pesan penting yang sempat terabaikan, kedatangan yang membuat ku harus memahami bahwa setiap kepergian, siapapun dia, keikhlasan dari yang ditinggalkan adalah bekal perjalanan yang sangat dia butuhkan, meski berat. Perenunganku berakhir ketika kumandang subuh menyapa, menuntunku menunaikan kewajibanku.


 

Jum’at, dini hari.
Kota Perantauan.
101014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Negeri di Awan

Di bayang wajah mu Ku temukan kasih dan hidup Yang lama lelah aku cari Dimasa lalu Kau datang padaku Kau tawarkan Kasih hati yang tul...