Jumat, 16 Desember 2016

4.8

Step by step

Malam itu temaram, mendung lagi-lagi mengunjungi langit malam “Kota Ini” seakan ia enggan berpisah lama dengannya. Suasana sunyi ikut meramaikan pesta hening malam itu. Pada sebuah kamar dalam sebuah rumah, Adi tengah menatap lekat jauh dari kursi tempatnya terpaku. Ia menatap jauh melewati jendela kamarnya. Sebenarnya ia baru saja menyelesaikan PR, meja belajarnya yang diposisikan pas pada jendela kaca kamar membuatnya sesaat tertawan akan hitam pekat malam itu. Tiba-tiba rintik hujan mulai terjun satu persatu, perlahan menggores jendela kaca kamarnya. Alunan rintik perlahan memati-kan pesta sunyi malam dipikiran Adi. Adi menghela napas panjang, mula-mula ia mulai menikmati aroma hujan yang hanya sekejap telah bergemuruh dan lebat.

Menatap hujan yang kian mengguyur membuat Adi mengingat kembali peristiwa pagi tadi disekolah, ketika ia disapa oleh seorang gadis manis dengan kaca mata yang membingkai diwajahnya. Ia masih ingat akan senyum indah seindah bulan merekah keemasan dimalam hari, ia masih ingat akan gelap hitam bola mata dari sebalik optik yang memagarinya, seindah kilapan mutiara hitam. Ia masih mengingat jelas kilau hitam rambut gadis itu ketika ia memperhatikannya ketika perlahan menghilang dari tatapan. Wajah gadis itu, baginya amat lekat dalam lensa matanya, terekam jelas dalam benaknya, akan amat sulit bagi Adi melupakan wajah gadis itu, indah senyumnya, kilau dua bola matanya, amat susah untuk dilupakan. Sembari mengagumi keindahan, Adi pun diliputi keheranan akan siapa agaknya gadis itu. Seingatnya, tak pernah ia kenal dengan perempuan itu sebelumnya, pun demikian, perempuan itu tahu namanya. Semakin Adi mengingat, semakin ia tidak menemukan jawaban. Teman SD? Entahlah, rasanya bukan. Teman SMP? Ia ragu, ia tak banyak bergaul, jadi dia akan tahu siapa saja orang yang kenal dengannya. Ia masih bingung dan juga penasaran.
Hujan tetap keras, hingga larut. Pikiran-pikiran yang muncul dalam benak Adi akan anak gadis tadi pagi berakhir dengan rasa penasaran yang amat sangat.

...

Di lain tempat, ketika hujan masih begitu lebatnya tampaklah sebuah sepeda motor terparkir pada sebuah kedai kaki lima yang menjual gorengan di tepi jalan. Sepeda motor Ninja berbadan hitam yang tak lain adalah milik Adri semakin mengkilat akibat air hujan serta kerlap-kerlip lampu jalanan. Adri yang terlambat pulang ketika hujan terpaksa ‘berteduh’ di kedai gorengan. Meski terpaksa, gorengan-gorengan itu dapat juga menghangatkan ketika dingin mengaliri udara malam. Sehabis mengunjungi Red Stars di Rumah Sakit, Adri sibuk dengan berbagai urusannya sehingga pulang malam adalah kebiasaan baginya. Dan malam ini, hanyalah malam kesekian kalinya ia pulang malam.

...

Jarum jam menunjukkan tepat di angka 10:00 WIB. Erika telah terlelap dalam mimpinya. Setelah mengerjakan beberapa PR, lelah karena menghabiskan sore bersama Adi dan Andra di pantai membuatnya cepat melelapkan diri.


...

Ketika hujan masih lebat dan malam masih belum larut, Andra bersama ayah dan ibunya tengah santap malam bersama. Tak banya perbincangan saat itu. Sehabis makan, Pak Anis ayah Andra menyibukkan diri dengan berita di televisi, acara malam yang selalu ia lihat setiap malamnya. Sedangkan ibunya Andra, Bu Melisa atau yang akrab disapa Bu Mel telah sibuk mengerjakan berbagai hal. Di lain sisi, Andra tengah asik menghitung tabungan yang ia miliki. Ia menghitung-hitung jumlah tabungannya melalui kalender. Andra telah mulai menabung sejak SMP untuk membeli sebuah sepeda motor, karenanya ia banyak ikut kerja sambilan sejak SMP seraya mengerjakan berbagai pekerjaan yang bisa menghasilkan rupiah selagi halal. Bagi Andra, keinginan untuk membeli sepeda motor dengan meminta kepada orang tuanya adala bentuk betapa ia tidak menghargai keadaan ekonomi keluarganya yang berada pada level menengah ke bawah. Ibu Mel, sehari-harinya berjualan sayur dan kue-kue ke pasar. Sedangkan Pak Anis adalah seorang supir angkutan umum antar kota dalam provinsi. Andra sedari kecil telah belajar mandiri, ia telah terbiasa pergi berjualan atau bekerja di kedai-kedai. Ia selalu membawa bekal ke sekolah, ini sempat membuat Adi terkejut, Erika juga sama terkejutnya, namun akhirnya Erika pun telah ikut-ikutan membawa bekal dan Adi sesekali. Mereka bertiga makan bersama di “Surga Kami”. Andra menyisihkan uang jajannya untuk di tabung, jika liburan tiba, ia mencari apa-apa yang bisa dikerjakan. Untuk keinginannya ini, ia amat keras dalam berusaha. Karena sering bekerja dan melakukan banyak hal, Andra menjadi orang yang amat mudah bergaul, setidaknya ia hampir mengenal semua penduduk di Pasar, termasuk orang tua Adi yang juga memiliki sebuah toko di pasar. Ini juga lah alasan Andra banyak tahu seluk beluk “Kota Ini”.

“Bu, tinggal sedikit lagi, bisa beli motor”. Andra memberitahukan hitung-hitungan tabungannya kepada ibunya dengan amat gembira. Wajahnya dipenuhi guratan senyum. Ibu Mel yang melihat kebahagian terpancar dari wajah anak semata wayangnya, amat merasa bahagia pula. Putra satu-satunya itu telah bisa menjadi anak yang mandiri, telah mampu memahami keadaan keluarga. Kebahagiaan Andra menghapus perasaan sedih Bu Mel yang kadang-kadang timbul ketika melihat anaknya mesti bekerja dan berusaha untuk memperoleh uang. Ia tak ingin menyalahkan takdir akan keadaan keluarga, baginya berusaha dan terus berusaha jauh lebih baik ketimbang memikirkan keadaan yang tak sama dengan keadaan orang-orang dengan ekonomi berlebih. Ibu Mel senang dan bangga ketika anaknya dengan usia yang masih amat muda telah mampu berpikir dengan lebih dewasa. Baginya, keadaan yang sulit telah membuat Andra menjadi sosok yang mandiri dan mampu berpikir dewasa. Memang selalu ada hal-hal baik yang dapat dipetik dari hal-hal sulit.
“Syukurlah kalau begitu, jika sudah bisa membeli sepeda motor, jangan berhenti menabungnya”.
“Itu pasti, bu”. “Sudah malam, Andra tidur lagi bu”
“Iya, tidurlah, besok mesti bangun pagi”
“Iya bu, selamat malam”
“Malam juga, nak”
Setelahnya Andra beranjak ke kamarnya. Suasana rumah itu penuh haru saat itu. Hujan juga masih belum reda.

...

Tak terasa, semester satu hampir berakhir. Ujian sekolah telah mendekati. Bagi anak-anak kelas satu, tentu ini ujian perdana bagi mereka. Saat itu, baik Adi, Andra, Erika, Adri maupun siswa kelas satu sedang sibuk-sibuknya dengan beraneka tugas dan PR. Kenampakan umum menjelang ujian, tugas menumpuk. Kesibukan terhadap tugas-tugas membuat Adi, Andra dan Erika yang tidak sekelas jadi jarang berkomunikasi. “Surga Kami” pun jadi jarang ada yang mengunjungi, hanya Adri yang sering tidur disana. Adri, meski sibuk sekali suasana belajar, ia tetap mampu mengerjakan tugas dan PR-nya dengan tetap bersantai-santai. Nilai-nilainya pun tergolong memuaskan.

Seminggu menjelang ujian, Adri ditantang oleh Anwar Faisal untuk duel. Anwar Faisal dan seluruh anggota Red Stars telah pulih. Tantangan Anwar kepada Adri kali ini sedikit berbeda, Anwar menantang Adri secara personal. Entah apa yang telah terjadi, Adri yang merasa heran dengan tindakan Anwar tidak bisa menerima tantangan itu. Ia beralasan, jika pertarungan dilakukan saat ini, maka dikhawatirkan siapa yang terluka akan masuk rumah sakit dan tidak bisa mengikuti ujian, itu tidak menguntungkan.
“Aku menolaknya senior!!!”. “Siapapun yang kalah akan sulit buat ikut ujian, itu tidak bagus”.
“Siapa yang peduli dengan itu semua, bocah?”. “Aku ingin bertarung sekarang atau tidak sama sekali, dan kau jadi saja pengecut!!!”
“Terserah kau mau menilaiku senior, tapi bagi seorang pelajar, sekolah itu penting, setidaknya ujian itu penting bagi kita dan aku nggak akan mengorbankannya demi emosi”.
Anwar tetap tidak menerima, namun untuknya yang sering bolos, ujian memang menjadi satu-satunya jalan untuk bisa naik kelas. Dendam dan emosinya memaksanya untuk tetap menantang Adri. Sedangkan otaknya, memaksanya untuk mencari hari lain. Anwar diliputi rasa kesal pada diri sendiri. Ia yang terbiasa berkelahi bersama-sama Red Stars kini sedang mencoba menantang orang sendirian. Dan percobaan pertama tampaknya tidaklah mulus.
“Baiklah, segera setelah ujian ini selesai, kita selesaikan urusan kita! Hanya kau dan aku!”
Dengan menahan amarah, Anwar berlalu meninggalkan Adri.  Adri justru menatap senang dengan hal ini. Akan lebih mudah mengalahkan satu orang ketimbang melawan lima orang, bukan, tapi enam orang Red Stars.

...

“Sebentar lagi kamu ujian kan Di?” Malam itu Adi tampak sibuk dengan game PS 1-nya. Ibu yang sedikit khawatir karena menjelang ujian, Adi pun tetap sibuk dengan PS-nya. Adi yang tetap fokus pada layar TV dikamarnya hanya mengiyakan saja. Mata dan kepalanya tidak bergerak kearah ibu. Sebenarnya ibu maklum sekali kalau Adi selalu bermain game ketika akan ujian. Sejak SMP, ketika ia mengenal PS atau Play Station pertama kali oleh ayahnya, ia telah banyak menghabiskan waktu dengan game ketika dirumah. Semakin dekat waktu ujian semakin sering pula ia main game.
“Ini ujian pertama mu di SMA loh? Apa kamu tidak khawatir, Di?”
Adi mem-pause-kan gamenya, kemudian meletakkan stick PS.
“Tenang saja bu, ujian tetap ujian, tidak ada bedanya SMP maupun SMA”. Adi menjawab dengan pasti. Kemudian ia melanjutkan kembali mainnya.
“Hemmm, baguslah kalau kamu tetap yakin begitu”. “Ibu pikir kamu semakin stess karena mau ujian, ternyata tidak”. Ibu juga mengomentari dengan semangat.
“Baiklah, sudah malam, jangan terlalu malam mainnya, nanti susah bangun”.
“Oke bu”. Adi menjawab sembari mengacungkan jempolnya, dengan tetap tidak menoleh. Dan ibu telah beranjak menuju kamar tidurnya.

Adi Satryo, tinggal hanya dengan ibunya saja dengan sebuah rumah sederhana tingkat dua. Dulu rumah ini amat ramai, namun kini hanya ada Adi dan ibu-nya, Ibu Ruyana, Bu An, demikianlah orang-orang di pasar mengenalnya. Punya sebuah toko grosir di pasar, sebagai usaha untuk menghidupi keluarga kecilnya. Setiap harinya Bu An bolak balik dari rumah ke pasar, pasar ke rumah. Adi pun terkadang pergi ke pasar jika malas pulang ke rumah. Ketika SMP, Adi lebih sering pulang ke toko karena sekolahnya dekat dengan toko dan bersama-bersama pulang dengan ibu ke rumah sore harinya. Ketika SMA, Adi jarang ke toko, kesibukan sekolah membuatnya lebih sering pulang kerumah.

...

Erika yang sibuk dengan tugas dan PR-PR-nya sedang tidak bisa bersantai. Erika yang paling sibuk menghadapi ujian kali ini. Tugas-tugas yang melimpah membuatnya mesti berkutat dengan buku. Ibu Elita yang melihat putri-nya jarang keluar kamar menjadi sibuk mesti mengingatkan Eri untuk makan. Eri sampai-sampai lupa makan karena tugas-tugasnya. Pak Mochtar justeru menyemangati putri satu-satunya itu ketika ia pulang dari tempat usahanya. Sebagai seorang pengusaha, Pak Mochtar selalu pulang malam. Melihat putrinya yang tengah sibuk, timbul pula keinginannya untuk memberi semangat. Sudah dua hari ini Pak Mochtar selalu pulang dengan beraneka makanan untuk putrinya. Hal ini membuat kakak-kakak Eri sedikit cemburu.
“Papi kok cuma beli buat Ery? Buat Irina mana?”
“Iya nih, Papi cuma sayang sama Ery nih” begitulah kakak-kakak Erika menggoda papi-nya. Arigo Putra Zamrud, kakak tertua Erika, saat ini tengah sibuk dengan tugas akhir kuliahnya. Kebetulan ia melakukan penelitian di “Kota Ini” sehingga ia bisa berada lebih sering di rumah. Sedangkan Irina Putri Zamrud, kakak Erika sekaligus anak kedua merupakan siswi kelas tiga SMA di kota ini juga. Nasibnya Irina lebih baik, otaknya yang encer membuatnya sekolah disalah satu sekolah unggulan di “Kota Ini”, SMA Negeri 2.
“Ah kalian ini, kalian kan sudah sering Papi kasih makanan, yang lebih tua ngalah aja ya, papi mau manja-in putri kecil papa dulu”.
“Haha, si Papi gitu”.
Ibu Elita Levyrin hanya bisa tertawa melihat candaan suami dan anak-anaknya. Keluarga yang bahagia dan diliputi dengan suasana yang ceria.

...

Andra dan Adri yang terbilang santai menjelang ujian sibuk dengan urusannya masing-masing. Andra tengah pamit ijin mengambil cuti selama seminggu dari tempat ia biasa bekerja. Ketika akan keluar toko, ia bertemu Adri. Malam itu Adri ingin belanja.
“He hei, Ad ... ri”. Sapa Andra dengan ragu dan terbata
“Oh kau, apa kabar”. Dengan ekspresi biasa Adri menanggapi Andra. Adri sejenak berhenti, hendak mengobrol dengan Andra.
“Kau tidak belanja?”
“Nggak Dri”
“Oh, jadi kau ngapain disini?”
“Baru selesai kerja”. Jawab Andra singkat
“Kau kerja? Adri mengerinyitkan dahinya tak percaya.
“Iya”. Kali ini Andra menjawab dengan bangga.
“Aku pulang dulu kalau begitu Dri, sudah malam, nanti kehabisan kendaraan”. Untuk pertama kalinya Andra berani bicara dengan tegap kepada Adri. Sedangkan Adri, ia masih tak percaya. Meski begitu ia tetap melanjutkan belanjanya.

Di rumah. Adri merebus mi goreng yang tadi ia beli. Rumah masih sepi. Rumah mewah dua tingkat itu amat lengang. Papa dan Mama Adri masih belum kembali dari bekerja. Hanya ada Adri dan nenek di rumah. Papa Adri, Pak Bimantara Adrian adalah seorang pengusaha besar, membuatnya sibuk dengan pekerjaannya, jarang pulang. Adapun ibu Adri,yaitu Bu Ratna Anita adalah seorang wanita karier yang telah sukses hingga keluar negeri, bolak balik luar negeri, tapi jarang bolak balik ke rumah. Jadilah Adri hanya akrab dengan neneknya yang masih terlihat muda di usia 66 tahun. Nek Nurhayati, memilih menikah muda, karenanya, meski cucunya telah besar, ia masih belum terlalu tua. Dari penampilan, terlihat lebih muda dari usianya, rajin olah raga, memakan makanan yang sehat, yang kadang Adri sendiri tidak mau memakannya. Sebagai seorang ibu dari anak-anak yang berhasil, beliau menikmati hari tua dengan bahagia, hanya kesusahan hatinya adalah kemurungan cucu satu-satunya di rumah ini, yaitu Adri.

Adri terlahir dari keluarga yang berada. Kelahiran yang dinantikan sebagai generasi penerus usaha kelaurga. Namun, sekian tahun ketika Adri di rasa mampu tinggal sendiri, dia yang kelahirannya ditunggu-tunggu kini seakan terabaikan. Kesibukan Papa dan Mama-nya membuat Adri kehilangan senyum-nya sejak ia mulai mengenal sekolah dasar. Hanya nenek yang tetap disampingnya, meski begitu, rasa kosong itu tidak sepenuhnya terisi. Adri lebih memilih menghabiskan waktunya diluar, bersama teman-teman. Baginya rumah tidak lebih menyenangkan ketimbang di luar bersama teman-teman, lagi pula Adri tak membeda-bedakan dalam berteman. Namun, kebanyakan teman-temannya pada akhirnya adalah anak-anak nakal. Teman-teman Adri yang tak suka berkelahi satu persatu meninggalkannya ketika ia semakin punya banyak teman dari anak-anak nakal. Masa SD dan SMPnya mulai diwarnai dengan perkelahian, meski begitu, ia tetap tak suka dengan tawuran. Ia lebih suka perkelahian satu lawan satu dengan tangan kosong, itu adalah sosok laki-laki sejati dalam pikiran Adri, dan ia terobsesi dengan identitas laki-laki sejati.

Perkenalannya dengan Hamdan adalah salah satu bentuk pertemuan dua laki-laki yang ingin menjadi laki-laki sejati. Hamdan tak pernah menang dari Adri, dan ia kagum akan jiwa Adri. Adri pun kagum dengan jiwa Hamdan. Meski awalnya berteman dengan banyak anak-anak nakal, namun lama-kelamaan akan terlihat mana yang pantas dianggap sebagai kawan perjuangan, mana yang tidak. Dari sekian banyak yang datang dan pergi, Hamdanlah yang paling akrab dengan Adri. Sikap Adri yang berbeda dari kebanyakan anak nakal lainnya membuat ia diasingkan dan lebih memilih untuk sendirian. Meski sendirian, Adri adalah orang yang ditakuti di dunia hitam kota, namanya membuat gentar. Namun juga mengundang penantang.

Bersambung ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Negeri di Awan

Di bayang wajah mu Ku temukan kasih dan hidup Yang lama lelah aku cari Dimasa lalu Kau datang padaku Kau tawarkan Kasih hati yang tul...