Minggu, 20 Agustus 2017

4.11

Counting Stars

Adri berlarian menuju bangku tempat ia duduk, menunduk dan bersembunyi. Ia tampak menghindari sesuatu. “Kalau ada yang nyari aku, bilang aku gak ada” pinta Adri. Adi yang heran cuek saja. Adi malah melangkahkan kakinya ke luar kelas, perutnya lapar dan harus segera di isi. “Bilang saja pada yang lain, aku mau keluar”. “Kau mau kemana? Mau ke tempat itu?” tanya Adri. “Nggak, mau ke warung, nggak ada janji ke sana hari ini”. “Yaaaah”. Adri ber”yah” panjang. Ia tetap menunduk dan bersembunyi entah dari apa dan siapa. “Hei Ketua Kelas, nanti kalau ada yang mencariku, bilang aku tak ada”. Adri masih melanjutkan permintaannya. Ketua Kelas X.I, Amran melirik Adri, sesaat kemudian ia melenguh panjang, “Iyaaaaa” jawabnya malas.

Dalam perjalanan menuju warung makan, Adi melewati kelas X.5. Saat tengah mengencangkan kecepatannya, terdengar suara perempuan memanggil, suara yang tak asing. “Hai Adi” suara lembut dari gadis manis berkacamata yang menyapanya tempo hari. Gadis itu berdiri tepat didepan pintu kelas X.5, ia tersenyum manis dan penuh kehangatan kepada Adi. Dan Adi, saat itu hampir mati berdiri jika saja gadis itu tak memalingkan wajahnya saat itu. Perasaan aneh dan debar-debar itu terasa lagi pada Adi. “Aya, kita ke perpus yuk” sahut suara perempuan yang muncul dari dalam kelas. Perempuan itu cukup manis, meski tak semanis gadis berkacamata yang menyapa Adi. “Ah iya, ayo Nina”. Balas gadis berkacamata itu. “Adi, aku duluan ya” ucap gadis berkacamata itu sambil berlalu dan meninggalkan senyumnya yang amat manis. Adi hanya membalas dengan senyuman, senyum yang kacau balau dan debar-debar yang tak beraturan. Senyum gadis itu masih tertinggal dipikiran Adi meski gadis itu telah tak lagi terlihat. “Manis sekali gadis itu kan?” tiba-tiba suara Andra muncul begitu saja, entah darimana?

Adi yang salah tingkah jadi kehilangan senyum indah itu oleh kehadiran Andra. “Hahaha, ketahuan kau Di, kau telah memulai sebuah perjalanan cinta yang panjang dengan gadis itu”. Tatap Andra tajam. “Sok tahu kau Ndra, tadi itu tak sengaja ketemu, lagipula aku masih tak tahu apa-apa tentangnya”. Mendengar itu Andra jadi ingat akan sesuatu yang hampir ia lupakan dalam beberapa minggu ini. “Oh iya Di, aku baru ingat, aku akan ceritakan padamu semua tentang gadis manis tadi”. “Oh”. Jawab Adi singkat dan penuh ketidaktertarikan, meski sebenarnya tidak begitu. “Aku serius lo, tapi traktir aku makan ya, hehhe” dan mereka terus berjalan menuju warung.

***

Di sebuah kedai yang cukup jauh dari sekolah, tampak dua orang siswa lawas bertemu, bertemu tanpa sengaja tepatnya. “Jauh juga tempat makanmu sekarang War” ucap suara itu yang melihat Anwar Faisal tengah melahap makanannya. “Ngapain orang yang sudah tidak bisa apa-apa lagi di sekolah kemari, sudah bosan sekolah?” sahut Anwar kesal. “Hahaha, selera humormu tetap saja buruk War”. “Aku dengar lo kabar soal kau dan Redstar kena hajar ulah anak kelas satu, hahhaha” balas Arainan. “Jangan rusak nafsu makanku deh, jangan habiskan jatah peringatanku hanya karena menghajarmu Nan”. “Hahaha, kau masih tetap emosional saja, aku hanya ingin duduk-duduk dan bercerita saja denganmu”. “Kalau tentang pacar-pacarmu, sebaiknya enyah saja kau Nan”. “Bukan, ini soal anak-anak baru yang menyebalkan”. “Hmmm??? Kau juga kena ya Nan? Ahaha, si kribo ini kena juga” dan pecahlah tawa Anwar dan Arainan waktu itu.

***

“Jadi namanya Cahya Rona dan ia siswa pindahan dari kota lain sewaktu kelas tiga SMP?”. Ucap Adi. “Iya Di, dia primadona SMP 3 sejak saat itu, tapi sampai saat ini ia masih tetap sendiri tanpa pasangan” jawab Andra. “Pasti info-mu Ndra?”. “Pastilah Di”. Adi mengangguk-angguk saja, yang menjadi pertanyaannya kenapa gadis itu kenal dengannya masih belum juga terjawab, bahkan oleh Andra. “Aku masih belum tahu Di kenapa dia bisa kenal denganmu, awalnya aku pikir kau se SMP dengannya, ternyata tidak”. Adi memang tak banyak bergaul saat SMP selain karena selama SMP sering pindah-pindah sekolah karena berbagai alasan, ia tak pernah sekolah di SMP 3. SMP terakhir tempatnya lulus adalah SMP 13 yang terletak di perbatasan kota serta batas provinsi dengan provinsi sebelah. SMA 4 sendiri terletak jauh dari perbatasan dengan jarak tempuh satu setengah jam perjalanan dengan mobil. Setidaknya saat ini Adi belum ada tanda akan pindah lagi setelah terakhir pindah ke daerah pertengahan ini setelah tamat SMP lalu. “Ini misteri yang harus aku pecahkan!” sahut Andra penuh percaya diri. “Udah ah, balik ke kelas yuk, nggak penting” ujar Adi sambil bergegas ke kelas setelah membayar makanannya. “Tunggu oi”. Andra bergegas menyusul. “Ngomong aja nggak penting, dalam hati senang tuh karena udah tahu siapa namanya” gerutu Andra sambil berlari menyusul Adi.

***

“Bagaimana Ran? Kau mau kan duel dengan ku sore ini?” Tantangan Baron waktu itu masih mengganggu pikiran Randi. Ia sudah lama tidak berkelahi, kelas dua SMP adalah terakhir kali Randi berkelahi, saat ia dan geng-nya dikalahkan. Randi masih mencari-cari cara untuk menghindari perkelahian itu. Waktu itu jam pulang sekolah tinggal setengah jam lagi, Baron menanti dengan was-was. Tantangan yang ia layangkan pada Randi masih belum beroleh kata pasti. “Aku tidak tertarik, lagi pula seharusnya Adri yang mestinya kau lawan, bukan aku”. Demikian jawaban Randi waktu ia menolak. Tapi Baron tetap ingin menantang Randi, soal Adri, ia tak ingin melangkahi Anwar yang sudah lebih dahulu ingin membalas dendam dengan Adri.  Tiga puluh menit yang terasa amat panjang untuk Baron dan terasa singkat bagi Randi.

Lain tempat. Arainan dan Anwar justru sedang memikirkan strategi untuk melampiaskan kekesalannya terhadap anak-anak kelas satu yang bandel. “Jadi War, target kau anak kelas satu yang bernama Adri itu? Kalau aku, bocah yang rambutnya runcing-runcing itu, dia sudah tidak sopan dengan seniornya, dia harus diajari sopan santun!” Arainan amat gemas saat itu, ia benar-benar tak lagi sanggup menahan diri. “Kau ini, kalau sekali lagi bikin masalah di sekolah, kau bisa dikeluarkan, sudah bosan sekolah?” balas Anwar. “Aku akan melakukannya di luar sekolah, cepat atau lambat!”. Anwar sepakat dengan Arainan saat itu. Tekad dalam hatinya untuk balas dendam telah memuncak, lagipula kondisinya kini telah benar-benar fit karena lebih satu bulan ia kesulitan mencari Adri yang seakan hilang. “Nan, kau bantu aku mencari bocah itu, dia selalu lolos dari mata ku!”. “Pasti!”. Dan kedua senior SMA 4 memulai pergerakannya.

***

Suasana pulang amat riuh, seperti pasar. Adi masih menanti angkutan umum. Ia ingin ke pasar, ke toko ibunya. Karena malas untuk pulang ke rumah, sepulang sekolah Adi memutuskan untuk langsung ke pasar. “Adi, kebetulan banget” Eri sangat senang saat itu, matanya berbinar-binar, senyumnya memancar. “Kenapa Ri?”. Dengan senyum penuh kejahilan, Eri mulai merayu-rayu Adi “Aku mau ke toko buku Di, tapi nggak ada yang nemenin, si Andra udah kabur, si Adri gak keliatan dari tadi, temenin ke toko buku yaaa” sambil dengan gaya memohon manja Eri memaksa Adi. Adi yang salah tingkah dan serba salah tak tahu bagaimana hendak menolak. Dan tak lama Adi telah naik angkutan umum bersama Eri menuju toko buku, dengan penuh keterpaksaan.

***

Baron dengan setia menanti Randi di gerbang sekolah. Setelah amat lama menanti, Randi berjalan keluar melewati gerbang, tidak sendirian, ia berjalan bersama dengan seorang gadis. Mereka terus saja berjalan tanpa peduli dengan sekelilingnya, termasuk Baron. Baron yang merasa diabaikan mengikuti dari belakang, sesekali ia berdehem, “Ehem ehem”, tapi Randi cuek saja. Cukup ampuh memang, Baron tak bisa berbuat banyak. Randi tahu jika Baron adalah seorang lelaki yang tidak suka mengganggu perempuan. Meski begitu, karena kesal, Baron yang sedari tadi mengikuti Randi menendang pantat Randi hingga Randi tersungkur. Bisa kau bayangkan bukan bagaimana rasanya tersungkur saat kau sedang berjalan berdua dengan wanita? Dan saat itu cukup ramai. Ini bukan soal rasa sakit, tapi lebih ke malu. Emosi Randi naik, ia menoleh ke belakang, dan Baron telah jauh berlari, sambil mengejek-ngejek Randi dari jauh. Ingin Randi mengejar Baron, tapi ia telah lebih dahulu di tahan oleh Lara, gadis yang bersamanya. Wajah Randi saat itu memerah, iya memerah karena masih terbayang olehnya saat jatuh tersungkur tadi, saat ia asyik bercerita dengan Lara, tiba-tiba ia tersungkur, di tengah keramaian. Randi jadi salah tingkah, tapi hatinya penuh amarah : ku hajar kau Baron!

***
4


Siang menjelang sore itu Adi telah selesai menemani Eri membeli beberapa buku. Adi yang tak punya rencana membeli buku, tak sengaja tergoda membeli beberapa komik yang amat menarik. Dan Eri membeli beberapa buku novel remaja, biasa, novel cinta. Eri yang kembali merengek untuk ditemani makan membuat Adi kembali harus menemaninya. Ketika dalam perjalanan menuju tempat makan, mereka melewati jalanan yang cukup sepi. Tiba-tiba muncul dua orang siswa SMA, dengan pakaian yang dengan hanya melihat kita bisa paham bahwa, tak aman jika ada mereka. Dan benar saja, mereka mencegat Eri dan Adi. Ketika Adi dan Eri akan berbalik arah, dua orang siswa SMA lainnya muncul. Kini ada empat siswa SMA yang menghadang Adi dan Eri. Melihat badge bajunya, tampaknya mereka adalah anak-anak SMA 8. Eri yang saat itu mulai panik bersembunyi dibelakang Adi. “Gimana nih Di, aku takut”. Adi tetap diam tak bergeming, namun tatapnya menjadi lebih tajam. Empat orang tadi semakin mendekati mereka. Adi menepuk pundak Eri dengan kedua tangannya, mereka kini berhadap-hadapan. “Ri, kamu tenang ya, kalau kamu takut, tutup matamu ya” saat itu sambil tersenyum Adi menghibur Eri yang tengah ketakutan. Kata-kata Adi saat itu ternyata mampu menenangkan Eri, tangisnya yang tadi bergemericik mulai reda, seakan senyum Adi tadi memberi energi positif pada Eri. “Nah, sekarang Eri tunggu dibelakang ku ya, jangan kemana-mana”. Eri menurut, ia bersembunyi dibelakang Adi.

“Hehe, kami hanya perlu uang kok, jadi beri saja kami uang, dan urusan disini aman terkendali” ucap salah satu dari empat anak itu. “Iya boy, kami hanya perlu itu kok”. Adi tersenyum sinis menanggapinya. “Wuih, senyummu jelek boy, nantangin ya” sahut anak lain yang mulai terlihat tidak sabar. “Kerja sana, jangan jadi pengemis!” Balas Adi. Eri yang mendengar jadi panik. Si Adi, malah bikin orang tambah emosi dia. Oh iya, aku lupa kalau mulutnya kan manis banget kalau membalas cacian. Eri geleng-geleng kepala melihat sikap Adi. “Hei boy, kami tidak ingin ada yang terluka, jadi jangan paksa kami!” empat orang tadi mulai marah, dan mereka sudah mulai menggulung lengan bajunya. “Memangnya kalian bisa apa? Aku tidak takut dengan kalian” Adi kembali membalas dengan ketus. “Ampun deh si boy satu ini, udahlah bro, kita pakai cara biasa saja” dan mereka mulai mendekati Adi. Adi pun bersiap, ia mengepalkan tangannya keras-keras.

Sesaat ketika empat anak tersebut hendak menyerang Adi, datanglah seseorang dengan mengendarai kuda besi. Ia berhenti tepat dibelakang empat anak SMA 8 tersebut. Perhatian empat anak tersebut teralihkan pada sosok yang baru datang itu. Orang itu membuka helm-nya. “Mengeroyok orang? Kalian ini perempuan ya?”. Kata-kata barusan cukup untuk membuat empat anak tadi mengalihkan sasarannya ke anak baru itu. “Siapa lagi nih? Temannya ya?. “Nggak tahu, udah hajar aja!”. “Iya, hajar aja sekalian!”. Dan sasaran mereka telah beralih arah. Melihat itu, Adi ingin saja pergi, tapi ia urungkan niatnya. Ia justru melihat perkelahian empat lawan satu itu. Dan Eri, masih setia menutup matanya. Anak itu turun dari motornya, ia berdiri santai menanti serangan. Jika dilihat tinggi anak bermotor itu sekitar 170an cm, setinggi Adi dan Adri. Wajahnya cerah, sorot mata tajam dan senyumnya amat ramah. Tinju anak itu telah lebih dahulu bersarang di wajah penyerangnya sebelum para penyerang itu menyentuhnya. Dua tinju menjatuhkan dua orang dalam sekejap mata, dua orang lainnya yang hanya melihat jadi terpancing. Satu orang maju menyerang anak bermotor tersebut. Namun sama seperti sebelumnya, penyerang ke tiga jatuh dengan satu tinju tepat mengenai wajah. “Hei, kalian bercanda ya? Dengan kemampuan segitu mau jadi preman? Kalian pasti gila!” ujar anak motor tersebut.

“Prok ... prok ... prok”. “Hebat hebat, kau bisa mengalahkan mereka bertiga dengan mudah, tapi cukup mereka saja, aku tidak”. Ujar siswa SMA 8 yang terakhir sambil bertepuk tangan. “Heh, kau yakin nih? Balas anak bermotor tadi. “Hehe” setelah tawa itu siswa SMA 8 tadi langsung merangsek menuju anak bermotor. Anak motor menangkis tinju pertama, menghindari tinju yang kedua dan membalas dengan sebuah tinju keras kearah badan, namun meleset. Anak bermotor sesaat kaget karena tinjunya tidak kena, namun pukulan anak SMA 8 tersebut justru telah mengarah secepat kilat ke arah wajah. “Awas!!!” teriak Adi yang hanya menyaksikan sejak tadi. Beruntung anak bermotor masih bisa menangkis pukulan itu dengan tangannya dan menyisakan sedikit nyeri. Dua anak itu sama-sama mundur, mencari celah, memasang kuda-kuda baru. Anak SMA 8 memulai serangan dengan agresif dan cepat. Tendangannya masuk tepat mengenai badan kiri anak bermotor, tapi ternyata itu hanya tipuan, anak bermotor menangkap kaki yang menendang tersebut, ia pegang kuat. Anak SMA 8 panik, ia tak bisa melepaskan kakinya. “Sial, kaki ku tak bisa dilepas”. Anak bermotor menyerang lawan dengan sekuat tenaga, tinjunya masuk ke dada, tinju ke dua masuk ke wajah, tinju ketiga kembali menghantam wajah. Anak SMA 8 yang tidak lagi bisa melepaskan diri akhirnya memaksakan kaki yang tersisa untuk menendang anak bermotor, berhasil, tendangan itu melepaskan kaki sebelumnya. Bruuuk!!! Bunyi jatuh anak SMA 8 itu. “Hehe, boleh juga kau, kau lebih kuat dari tiga orang itu, sebutkan nama mu sebelum kau kalah deh”. Ucap anak bermotor tanpa merasa sakit sedikitpun.

“Sial, dia kuat banget. Gimana nih, sial, sial, sial” pikir anak SMA 8. “Aku Ilfan dari SMA 8, dan aku akan menghajarmu anak sombong!” sambil mengucapkan itu Ilfan menyerang lagi anak bermotor tadi. Buagh!!! Suara jatuh Ilfan dan tak lagi bisa berdiri, ia telah kalah dari anak bermotor itu. “Aku Raiz, ingat itu bocah”. Ucap anak bermotor yang bernama Raiz tersebut. Raiz menghampiri Adi. “Kalian nggak apa-apa kan? Ucapnya. “Kami nggak apa-ap, terima kasih bantuannya”. “Hohoho, its okay, eh itu siapa dibelakangmu?”. “Oh ini temanku, Eri”. “Eri??? Balas Raiz mengerutkan keningnya. Eri membuka matanya, dan “Raiz???”. “Hei Ri, Apa kabar? Balas Raiz pada Eri. “Ehm, sudah saling kenal ya?”. Eri dan Rais adalah teman saat SMP, teman sekelas dan cukup akrab. Dan terjadilah sedikit percakapan antara mereka bertiga sebelum akhirnya Raiz pergi dan Eri tetap mengajak Adi menemaninya makan.

Perjalanan hari itu berakhir dengan Adi melepas Eri pergi dengan angkutan umum dan Adi pulang ke rumah dengan angkutan umum pula. Agenda ke toko ibu di pasar hari itu batal.

***

“Ron, aku ingin meminta bantuanmu untuk menyampaikan pesan pada anak kelas satu yang menjengukmu kemaren” pagi itu Anwar memulai pergerakannya dengan menyampaikan tantangan Arainan pada Randi. “Maksudnya Randi ketua?”. “Iya, katakan padanya kalau Arainan menantangnya berduel sore nanti di hutan kota”. Baron tercekat mendengarnya. Baron juga sedang ingin menantang Randi. “Tapi ketua, aku juga ingin bertarung dengan Randi”. Anwar melirik Baron “Masalah apa kau dengannya?”. Baron terdiam, tak ada alasan pasti, hanya Baron merasa perlu bertarung melawan Randi yang merupakan orang-orang kuat digenerasinya, dan mengalahkan Randi artinya menaikkan level Baron. “Aku tidak akan menghalangi tujuanmu Ron, tapi aku hanya memperingatkan saja kalau Arainan sudah menetapkan targetnya, dia tak akan melepaskan sampai dapat. Jangan sampai terluka hanya karena kau ingin melawan Randi juga.” Ucap Anwar tegas. Anwar tahu bagaimana mengerikannya Arainan dalam pertarungan. Itu juga alasan Anwar tak ingin mengganggu Arainan. Baron masih terdiam, hasratnya kuat untuk bertarung dengan Randi, tapi setiap orang tahu bagaimana Arainan. Baron mengalah. “Baiklah ketua, aku akan sampaikan pesanmu, tapi aku tak bisa memaksa kalau dia tak mau, karena tantanganku juga sudah ditolaknya berkali-kali”. Anwar tersenyum licik. “Tidak apa-apa, sampaikan saja dahulu, sisanya urusanku”. Tanpa perintah Baron pergi meninggalkan Anwar.

***

Istirahat siang
“Gak nyangka bisa ketemu Adri disini”. Saat itu Randi dan Adri bertemu di kedai sekolah. “Oh kau rupanya” balas Adri. “Kau sudah dengar kabar belum?” tanya Adri pada Randi sambil mengambil makanannya. “Apa?” tanya Randi. “Kau di incar oleh Arainan” jawab Adri. Randi terdiam “Maksudmu apa?”. Sesaat kemudian datanglah Baron ke kedai pula. “Wah wah, kebetulan sekali bertemu kalian berdua disini”. “Sial” ucap Adri. “Tenanglah Dri, aku nggak akan bilang ke ketua kalau kau ada disini, urusan ku sama si Randi”. “Baguslah” jawab Adri “Jangan ganggu makanku”. Sambil Adri melanjutkan makannya. “Ada apa denganku Ron? Jika masih soal tantanganmu, maaf aku tidak tertarik”. Hmmmmhufffttt, Baron menarik nafas panjang. “Sudah kuduga, tapi kali ini aku hanya menyampaikan pesan dari Arainan, dia menantimu jam 15.00 di Hutan Kota, dia menantangmu berduel”. Randi jadi semakin mengerinyitkan dahinya, ia tak mengerti ada apa dan apa yang telah terjadi. “Kenapa Arainan menantangku?”. “Aku tidak tahu, aku hanya menyampaikan pesan”. Randi masih berdiam diri. “Baiklah, aku pergi saja, nikmatilah jamuan untukmu Ran, hahaha”. Kemudia Baron berlalu.

Randi dan Adri yang tinggal saling pandang. “Makan nasi mu Ran, jangan jadi orang bingung gitu”. Randi menatap makanannya, seleranya hilang. Ia lihat Adri yang makan dengan lahap. Tiba-tiba Randi menumpahkan nasinya ke piring Adri. “Woi, apa-apaan nih”. Bentak Adri kaget. “Udah makan aja, aku yang bayar, mood ku hilang tapi gak mau mubazir, tolong ya”. Kemudian Randi mengambil minuman kaleng dua, untuknya satu dan Adri satu. Adri yang melihat itu merasa lucu, tapi dia sedang malas tertawa. Jadi ia habiskan saja makanannya. “Kau bisa santai begitu ya, padahal dikejar-kejar Anwar”. Adri dan Randi duduk berdua sambil ditemani minuman kaleng tadi. Adri telah selesai makan. “Aku memang santai, prinsipku selagi bisa menghindar aku akan terus menghindar, soalnya aku tidak berminat pada Anwar” jawab Adri. “Lalu, siapa yang ingin kau lawan?”. “Arainan, tapi tidak sekarang”. Adri melanjutkan kata-katanya. “Sial, aku sudah tidak tertarik lagi dengan perkelahian-perkelahian ini”. Randi menghela nafas panjang. “Kalau kau bisa mengalahkan Arainan, mungkin nanti bukan Arainan lagi yang akan kuhadapi, tapi kau Randi” tatap Adri tajam. Randi justru terkejut dengan pernyataan Adri tersebut. “Hahaha, sial, jadi kau tidak memandangku ya?”. “Aku tidak pernah dengar apa-apa tentang kau Randi, lagipula kabar bilang kalau kau sudah tidak bertarung lagi sejak lulus SMP, memangnya apa yang kau takutkan dari singa yang sudah tak pernah berburu lagi? Jangan-jangan cakar dan taringnya sudah habis semua” balas Adri pada Randi. Randi terdiam, ia tak bisa membalas kata-kata itu.

***

Kata-kata Adri disekolah tadi masih membayangi kepala Randi. Perjalanan pulangnya menjadi tidak tenang. Gang tempat biasa dia berjalan jadi terasa panjang karena linglung. Tiba-tiba muncul seseorang. “Kau?”. “Yo junior, aku tahu kau akan kabur, jadi beberapa hari ini aku sibuk mengamati jalan pulang mu loh” ternyata itu adalah Arainan. “Aku tidak tertarik dengan tantanganmu senior, aku minta maaf jika aku menyinggungmu”. Balas Randi. “Ayolah junior, ini bukan soal memberi maaf atau tidak, ini soal harga diri para laki-laki dan soal bagaimana laki-laki menyelesaikan urusannya secara jantan”. “Aku tidak tertarik senior, maaf, aku harus pulang”. Randi tetap dengan keputusanya. Ia melanjutkan jalannya dan melewati Arainan. “Sial, Apa aku coba saja” pikir Arainan sambil mengarahkan tinju ke Randi yang telah selangkah melewatinya. Tinju itu melesat ke arah kepala Randi, namun Randi tak menoleh, ketika tinju itu hampir mengenai Randi, Arainan menahan tinjunya. “Sial, aku tidak mungkin memukulnya dari belakang” umpat Arainan. Sedang Randi tetap berjalan, dengan dada berdebar. Aku beruntung dia tak mengenaiku, kalau tidak, aku belum tentu bisa menahan diri, pikir Randi saat itu. Terlihat tinju di tangan Randi telah mengepal. Randi beruntung Arainan adalah seorang laki-laki yang tak akan memukul dari belakang. Randi bebas hari itu, setidaknya untuk hari itu, dan besok entah apa yang akan terjadi.

***

“Di, kau belum memutuskan untuk ambil ekskul ya? Padahal semester satu udah lewat loh”. Ucap Andra pada Adi disela-sela istirahat ketika berada di “Surga Kami” itu. Kesibukan ujian semester akhir-akhir ini membuat mereka tak sempat ke tempat ini. Keempat anak itu cukup kompak hari ini untuk mengunjungi “Surga Kami” meski tak membuat janji sebelumnya. Seperti biasa Adri selalu datang lebih dulu untuk tidur, bedanya saat ini ia sudah merasa terbiasa untuk tidur didekat Adi, Andra dan Eri. Eri datang terakhir karena baru saja menyelesaikan pendaftaran untuk mengikuti ekskul tari. Adi masih belum menjawab pertanyaan Andra. Ia memandangi langit biru yang amat menenangkan kala itu. Meski cuaca cerah, suasana pagi itu tak terlalu panas. Pohon-pohon rindang menyejukkan tempat itu. “Aku tidak tahu mau ikut apa, aku tidak terlalu pandai olahraga, bermain musik juga tidak bisa” jawab Adi kemudian. Suasana kembali hening.

“Aku juga tidak tahu ingin ikut apa, olah raga payah, musik tak ada kepandaian”, huuffftttt, Andra melenguh panjang. “Aku jadi iri dengan mereka yang ahli disuatu bidang entah itu olah raga atau musik”. Suasana kembali membisu. Masing-masing memikirkan hendak mengatakan apa, karena kata-kata yang salah akan dapat merusak suasana saat ini. “Kan masih ada pramuka, PMR atau Paskibra” ucap Eri memecah keheningan. Adi melirik Eri, kemudian menatap Andra, menanti respon darinya. Andra masih berpikir-pikir. “Kalau kau Dri?” teriak Andra pada Adri sambil menggoyangkan badan Adri. Adri terbangun, dengan tatap tajam ke arah Andra. “Ada apa dengan mu?” bentak Adri. “Iya kau bagaimana, rencana masuk ekskul apa?” Andra mengulangi pertanyaannya. Adri menatap Andra. “Kalau tidak penting, jangan membangunkanku” jawab Adri sambil memutarkan badan dan melanjutkan tidurnya. Adi dan Eri menahan tawa melihat hal itu. “Harusnya si Adri ikut pencak silat, kan hobinya” celetuk Andra lagi. “Bukannya kau ingin masuk PMR kemaren ya?” Tanya Adi. Andra cuek “Jangan menanyai hal yang tidak penting, aku mau tidur”. Jawab Andra sambil meniru gaya Adri dan ia juga tidur.

Adi dan Eri saling pandang-pandangan, mereka merasa sikap dua orang temannya kali ini amat lucu. “Eri serius ikut tari?” tanya Adi. “Iya” jawab Eri pasti dengan senyum yang ikut menyembul dari bibir tipisnya. “Kenapa?”. Eri terdiam sesaat. “Sejak kecil aku sudah diajari ibu menari, aku sering ikut acara tari ketika TK, SD, maupun SMP. Aku merasa senang jika menari. Aku merasa bisa melepaskan semua beban dengan menari. Aku, jadi begitu merasa bisa tenang ketika menari”. Eri bercerita dengan penuh senyum, aura kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Aura yang amat menenangkan, dan Andra yang tidak benar-benar tidur terpesona akan Eri saat itu. ia merasa dunia dalam hatinya berbunga-bunga. “Kau tahu Di, aku tidak terlalu baik dalam belajar”. “Aku tidak sebaik kakak-kakakku dalam pelajaran”. Eri diam sejenak. “Terkadang aku merasa iri dengan mereka yang hebat dalam belajar, aku merasa asing di rumah jika waktu pembagian rapor sekolah, karena kakak-kakakku selalu masuk tiga besar disekolah. Aku masuk sepuluh besar saja tidak pernah. Tapi meski begitu, aku menghibur diri dengan berlatih menari. Aku senang ketika ayah mendukung hobi ku dalam menari. Saat itu keadaan jadi tidak seburuk yang aku bayangkan. Ayah selalu bilang pada ku untuk men-syukuri apa yang aku punya, dan aku bersyukur karena aku bisa menari, tidak semua orang bisa menari dengan kesungguhan”. Eri menutup kata-katanya dengan senyum yang amat indah, dan Andra semakin berbunga-bunga hatinya.

“Ketahuan kau Ndra, kau sedang memperhatikan Eri diam-diam sejak tadi ya. Kau sedang memulai sebuah perjalanan cinta yang panjang Ndra”. Sergap Adi yang tahu jika Andra memandangi Eri diam-diam. “Apaan sih, aku tidur, jangan ganggu”ucap Andra sambil salah tingkah. Ia kembali ke posisi tidur dengan menutupi wajahnya. “Wajahmu merah tuh Ndra” ledek Adi. Eri tertawa-tawa melihatnya. Adi yang melihat tawa Eri cukup terpesona. Indah sekali tawamu nona.

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Negeri di Awan

Di bayang wajah mu Ku temukan kasih dan hidup Yang lama lelah aku cari Dimasa lalu Kau datang padaku Kau tawarkan Kasih hati yang tul...