Selasa, 12 Maret 2019

Seribu Tahun



Saat itu adalah sore yang cerah, ada festival seni dan budaya waktu itu dan suasana amat ramai. Festival seni yang luar biasa indah, di isi oleh berbagai pertunjukan seperti musik dan tari daerah, pameran lukisan beraneka gaya, stand berisi aneka karya, serta stand kuliner. Aku bukanlah fanatik seni, namun sedikit tertarik dengan hal-hal yang bertema budaya. Keberadaanku ditempat ini, panggil saja Jo dari nama lengkap Joni Adrian dan teman seperjuangan di kampus Antoni Anwar atau Toni adalah semata mencari hiburan dan sejenak melupakan kegiatan belajar di kampus. Waktu itu sore semakin menjelang, dan manusia semakin bertambah ramai, sesak juga semakin menjadi-jadi. Aku dan Toni yang telah mengelilingi berbagai stand dan telah menyaksikan banyak hal, takjub juga akan estetika karya manusia. Manusia juga bisa menciptakan karya yang indah dan unik, meski keindahan ciptaan-Nya adalah tiada tandingan siapapun seluruh semesta ini.

Tengah asyik mendudukan badan pada sebuah tempat duduk, sebenarnya bukan tempat duduk, melainkan sebuah pagar pembatas rendah sekali yang memagari sebuah pohon, pandangan ku tertuju pada sebuah karya indah ciptaan-Nya. Mata ku tertuju pada seorang gadis yang amat elok rupanya, anggun busananya. Mata ku tertahan pada karya Tuhan nan indah itu, hingga tak sadar mata gadis itu telah pula menatap kepada ku, kepada mata ku. Terkejut karena tatapan baliknya, aku mengalihkan pandangan, tersipu malu, salah tingkah, namun keinginan hati tetap memaksa untuk kembali menatapnya. Tatapan kedua kalinya, ketika tatapan ku telah sampai padanya, dia telah lebih dahulu menatap ku, dan saat itu, dia tersenyum ke arah ku. Sebuah senyum indah, seindah lazuardi senja kala itu, seumpama cahaya mentari terbit diufuk barat, seumpama sejuk embun pelepas dahaga. Masya Allah!

Hoi Jo, ngapain bengong? Panggilan Toni sesaat menghentikan ketakjuban ku akan keindahan master piece milik-Nya. Aku hanya tersenyum sembari menatap Toni. Toni yang melihat reaksiku hanya garuk-garuk kepala sambil mengerinyitkan dahinya, heran! Entah berapa lama kami duduk-duduk di bawah rindangnya pohon besar itu, senja sudah hilang saja, sama hilangnya dengan gadis yang tadi menggetarkan jantung hatiku. Kami pulang. Ketika berjalan menuju tempat parkir, senyum dari bibirku terbit kembali karena di sana aku kembali melihat gadis tadi. Dia tidak sendirian, dia bersama seorang teman yang juga indah dirinya. Kembali seperti tadi, aku mematung menatapnya. Dan Toni, yang ikut terperangah melihat indah ke-dua gadis itu paham akan hal yang terjadi kepada diriku. Toni tersenyum, ia merangkulkan tangannya kepundakku dan menyeretku perlahan.

“Ayo kawan, kita temui mereka”. Saat itu aku seperti kerbau yang di cokok hidungnya, nurut saja. Singkat cerita, Toni telah berhasil membuat kami saling mengenal. Namanya Cahya Farizka Badi’ah dan temannya Allyra Rahma. Kala itu, meski telah beberapa kali sempat meliriknya sedari jauh, memandanginya dari jarak dekat membuat ku mendebarkan jantung dengan sangat hebat. Jantung dalam tubuhku seakan ingin meledak. Keanggunannya tetap mempesona ku, wajah ovalnya yang terbungkus jilbab panjang dan pakaian muslimah beserta rok panjang yang membingkai dirinya, ah betapa anggunnya dirimu Cahya. Demikianlah kata yang terucap keras di dalam hatiku. Ketika saat itu Toni telah dapat berbicara santai dengan Allyra, aku dan Cahya lebih banyak diam. Kami hanya saling melempar senyum sesekali dan kemudian dia menundukkan wajahnya. Aku mulai paham, bahwa ini tidak biasa untuknya. Percakapan kami kala itu adalah percakapan hati, kami paham bahwa sejak tatapan pertama tadi, ada sebuah perasaan yang tidak biasa, yang mengatakan pada kami bahwa “meski baru bertemu, namun seakan telah lama saling mengenal satu sama lain”.

Percakapan sebentar itu berakhir dengan aku mendapatkan kontak HP Cahya yang bisa dipanggil “Aya”, demikianlah ia berkata. Toni pun berhasil memperoleh kontak HP Allyra.
Seminggu telah berlalu sejak hari itu. Meski tidak rutin, aku sempat beberapa kali menelpon Aya. Selalu ketika aku bercerita dengan Aya meski tidak lama, selalu saja sambutan hangat darinya. Percakapan yang tidak lama itu selalu terasa semakin mengikat perasaan masing-masing. Mungkin saat ketika pandangan mata pada saat yang pertama telah mempertalikan hati kami masing-masing. Seakan takdir telah menjanjikan pertemuan hari itu, karena meski bertemu dengan banyak wanita selama ini, tiada kesan dan terasa biasa saja. Yah, saat itu kami seakan telah saling memahami hati masing-masing, hanya saja kata cinta yang tetap kami pendam, aku menghormatinya dan kecintaannya kepada-Nya.
...
Minggu, Aku telah sampai di gedung bioskop tempat yang aku dan Aya berjanji untuk bertemu. Begini, semalam Aya menghubungi ku, dia ingin menonton sebuah film yang amat ia tunggu-tunggu, dan Allyra saat itu sedang ada acara keluarga katanya. Pilihan yang ia percaya selain Allyra adalah aku. Maka jadilah kami berjanji menonton hari itu. Saat pemutaran film, jujur saja aku tidak terlalu fokus dengan filmnya, berbeda sekali dengan Aya yang seakan tersihir dengan film. Alih-alih menonton, yang aku lakukan adalah memandangi Aya, berbagai ekspresi polosnya akibat reaksi dari film. Oh Tuhan, pandanganku yang terlalu mengagumi telah membuat aku lupa, dia bukan hak untuk aku pandangi dengan terlalu lama. Meski demikian, memandangnya adalah ketenangan bagi jiwa ku. Ya Rabb, tertitip do’a bahwa ku harap dialah takdir-ku.

Aku mengantar Aya pulang ke rumahnya, dia penduduk asli kota ini. Saat diperjalanan, tidak banyak yang kami ceritakan, namun cukup menyenangkan. Saat itu, ketika telah sampai di depan rumahnya, sebelum masuk rumah, Aya mengucapkan kata-kata yang sedikit ganjil, namun aku tidak terlalu mengindahkannya

“Jo’, maaf ya hari ini aku memaksamu pergi, aku takut tidak punya waktu lebih untuk bisa pergi bersama”.
Aya mengucapkannya dengan lancar dan sambil tersenyum sebelum akhirnya ia menghilang dari sebalik pintu rumahnya. Aku masih sempat meliht senyumnya sesaat sebelum pintu menghilangkan dirinya. Senyum yang tetap indah.

...

Pagi itu aku seperti biasa mengunjungi perpustakaan kota guna mencari referensi untuk skripsi ku. Hari itu senin pagi, sehari setelah aku dan Aya pergi menonton. Sejak hari itu, aku belum lagi berkomunikasi dengan Aya. Setelah menyelesaikan pencarian referensiku, aku memutuskan pulang ke kos. Sebelum pulang aku menyempatkan membeli koran karena tak sempat membaca koran ketika tadi di perpustakaan.

Di kos, terlihat Toni yang tengah duduk di meja belajarnya sembari membaca buku. Toni termasuk mahasiswa yang suka membaca, buku apapun ia baca termasuk buku-buku dengan tema berat. Meski begitu, Toni amat jarang membaca koran. Koran kemaren yang belum sempat aku baca ternyata masih bersih suci karena tak tersentuh. Karena merasa mubazir, maka aku memutuskan untuk membaca koran yang kemaren aku beli itu. Aku membuka helai demi helai koran tersebut. Ketika sedang khusyuknya membaca, aku terkejut ketika membaca sebuah berita kecelakaan lalu lintas.

“Ton, kemaren tanggal 14 kan?”

“Tanggal? Sebentar aku cek HP dulu”. Sesaat kemudian Toni memastikan bahwa benar itu tanggal 14 Februari 2016.

“Memangnya kenapa Jo?”

“Baca berita ini Ton!” sambil aku menyerahkan koran tersebut ke Anton.


Tabrakan Maut, Dua Gadis Muda Tewas di Tempat
Minggu, 14 februari 2016

... “telah terjadi tabrakan maut antara sebuah kijang Inova dengan sebuah sepeda motor yang ditunggangi oleh dua orang perempuan muda (Sabtu,13/2). Kedua korban tewas ditempat saat itu juga .... Korban meninggal Allyra Rahma (21) dan Cahya Farizka Badi’ah (21) tewas merupakan mahasiswa di salah satu PTN di kota ini”...


Toni sontak melemparkan koran itu, wajahnya pucat pasi. Ia menatap ku dengan wajah bercampur antara takut terkejut, dan ekspresi-ekpresi yang tidak mengenakkan lainnya. Kami saling memandang dengan ekpresi takut, bulu kuduk kami merinding, meski begitu, ada perasaan yang tak tertahan dalam diriku. Ada sebuah gelombang yang mulai mendesak-desak dari mataku. Toni kelihatan bingung, dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ingin salah bicara.
“Jo’, kemaren lu pergi nonton sama Aya kan?”

Aku tak bersuara, jawabanku hanya anggukkan, sedangkan mata telah mulai memerah.
“Jadi, ...” Toni menarik nafas panjang, ia tak mampu melanjutkan perkataannya. Adapun aku, mata ini sudah berair. Anton mengambil HP-nya, ia menghubungi seseorang. Setelah kata “Halo” dan “Bisa bicara dengan Allyra”, Toni hanya diam dan mengangguk-angguk sampai akhirnya ia mematikan HP-nya. Ia mendatangiku lagi.

“Bagaimana Ton?”

Toni menarik napas panjang lagi, kemudian mengangguk pelan.

“Iya Jo’, mereka yang meninggal dalam kecelakaan itu, barusan orang tua Allyra yang jawab”.

Suasana menjadi sunyi senyap. Air mata yang mengalir ku coba mengusapnya, namun ia sulit berhenti. Benar baru sebentar aku mengenal Aya, namun yang terasa seakan telah ribuan tahun saling mengenal sehingga kenyataan ini amat berat. Benar jika baru satu kali kami pergi berdua, namun seakan tak terhitung  masa rasanya kami telah bersama hingga aku tak siap menerima apa yang terjadi. Putik yang baru saja tumbuh, telah pula dicabut.

...

Senja itu aku duduk sendiri di tempat dimana pertama kali mataku menemukan Aya. Sejak tadi aku hanya memandangi lalu lalang dan sesekali menatap langit. Sebotol minuman penyegar menemaniku, yang tak habis-habis karena hanya sekali dua kali aku menyeruputnya. Ketika senja mulai semakin naik, dan ketika aku menundukkan wajah ku, aku melihat ada kaki menghampiriku dan sebuah tangan yang terulur kepadaku. Aku mengangkat wajahku perlahan, menatap sosok itu, dia Allyra! Saat itu, aku justru tersenyum, tidak bisa mengatakan apa-apa meski bulu kuduk dan tangan ku berdiri semua, namun tak ada perasaan apa-apa. Allyra tersenyum pula saat itu.

“Bagaimana kabar mu Jo’?”

“Aku baik, Kau?

“Seperti yang kau ketahui”

“Bagaimana Aya?

“Dia baik-baik saja di sana, dia titip salam”

“Salam juga untuk Aya”

Allyra tertawa kecil “Jo’, Aya minta maaf karena waktu itu dia tak menjelaskan apa-apa”

Aku terdiam sejenak, menyelami tiap pesan dari Allyra “Iya, aku paham kok Lyra”.

“Syukurlah kalau begitu”. “Sepertinya tidak ada yang perlu di khawatirkan”.

“Aya bilang, meski hanya sesaat, namun semua yang terjadi seakan telah lama. Seakan telah bersama sejak ribuan masa ...

“Selamat tinggal, Jo”.

Ketika kata-kata itu itu masih terdengar jelas ditelinga ku, sosok Allyra telah tak nampak lagi. Aku kembali sendiri, menikmati minumanku dan gurat wajah senja yang makin pudar. Setidaknya aku paham maksud perkataanmu waktu itu Aya, hanya yang membuatku selalu berpikir, siapakah dari dirimu yang saat itu bersamaku di bioskop?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Negeri di Awan

Di bayang wajah mu Ku temukan kasih dan hidup Yang lama lelah aku cari Dimasa lalu Kau datang padaku Kau tawarkan Kasih hati yang tul...